Lihat ke Halaman Asli

Kasus Florence Rekayasa? Mungkin Saja...

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ia mahasiswa S2 di sebuah kampus terbaik, UGM. Memiliki masa depan yang bisa dibilang cerah. Pekerjaan bagus telah menanti selepas ia lulus. Namun, saat ini semuanya seakan lenyap. Ancaman hukuman penjara enam tahun menghancurkannya. Hancur sudah masa depannya. Ia akan sangat kesusahan mencari pekerjaan, mencari penghidupan. Kehidupan yang sebelumnya lapang, menjadi terasa begitu sempit. Bagaimana tidak, bayangkan kita masuk penjara selama enam tahun hanya karena memaki.

Pemerkosa, pembunuh, perampok dan koruptor banyak yang tidak mendapatkan hukuman enam tahun penjara. Padahal dosa mereka begitu besar. Kejahatan mereka meninggalkan trauma mendalam bagi korban, menciptakan kemiskinan akut dan menebarkan ketakutan luar biasa. Berarti saat ini, dosa memaki lebih besar daripada dosa memperkosa, membunuh, dan korupsi.

Tak pelak kita mulai melihat keanehan pertama, yaitu logika aneh yang digunakan polisi dalam menentukan hukuman.

Memaki Bukan Memfitnah

Baru kali ini ada orang memaki mendapat hukuman pidana. Memaki adalah tindakan yang bisa saja dilakukan semua orang ketika emosinya memuncak dan sampai saat ini, tindakan ini belum dikategorikan sebagai penyimpangan dan penyakit masyarakat. Berbeda dengan fitnah dan tak bisa disamakan dengan membunuh, korupsi dan memperkosa

Memaki merupakan tindakan jujur seseorang dalam meluapkan isi hatinya. Sedangkan memfitnah lebih kepada menciptakan berita bohong. Sungguh sangat berbeda diantara keduanya. Menyebarkan  kebencian tentu lebih dekat kepada fitnah. Memaki hanyalah luapan perasaan. Sungguh sangat berlebihan bila orang yang memaki dapat dikenakan hukuman penjara.

Memaki hanyalah wujud dari kurangnya etika seseorang. Bandingkan dengan KPU yang beberapa waktu lalu di dakwa telah melanggar etika pemilu namun hanya diberi teguran. Padahal tindakan KPU itu sangat berpengaruh pada nasib bangsa Indonesia. Melihat hal ini, bukankah hukuman teguran jauh lebih pantas dikenakan pada Florence yang lemah tata krama dan etikanya?

Terlebih, tindakan memaki bukanlah hal baru di internet. Setiap hari ribuan netizen saling bertukar makian. Terutama mereka yang menggunakan akun anonim. Untuk yang satu ini, tidak hanya memaki namun juga merendahkan martabat orang lain, mem-bully, menyebarkan berita hoax dan lainnya. Selama ini tak pernah keadaan ini di bawa ke ranah pidana.

Menanggapi makian dengan emosi tentulah sangat disayangkan dan juga bukanlah sikap manusia dewasa yang matang dalam berpikir. Satu kesalahan besar yang mungkin dilakukan Florence adalah, ia terlalu jujur dan terbuka dalam memaki. Hal ini bisa dinilai dari digunakannya identitas asli dalam memaki. Bayangkan bila Florence menggunakan akun anonim untuk memaki, tentu takkan ada masalah. Takkan dipenjara. Takkan di bully.

Tindakan yang dapat dikatakan berlebihan dalam menghukum Florence juga memunculkan sebuah keganjilan.  Kejadian ini terjadi dengan sangat cepat. Berita tentang makian Florence tersebar dengan begitu cepat di media sosial dan dengan segera direspon oleh sekelompok orang dengan berdemo di UGM. Wacana ini kemudian digiring ke meja hijau. Reaksi yang begitu cepat dan luar biasa dalam menangani Florence menunjukkan ada bara di balik sekam di masyarakat Jogja dan bukan tidak mungkin ada pihak yang menunggangi kasus ini demi tujuan yang lebih besar lagi mengingat respon yang sangat cepat dan seakan “terorganisir” secara alami ini.

Hipotesis ini bisa saja keliru namun bisa juga tepat. Salah satu alasannya adalah internet saat ini merupakan alat perlawanan terbaik untuk mengawasi pemerintah dan berbagai tindak pelanggaran lain oleh pihak swasta. Sungguh banyak gerakan yang memanfaatkan internet untuk berjuang dari mulai mengumpulkan dukungan, menyebarkan wacana, berkomunikasi, menyebarkan berita. Ini semua berkat sifat internet yang bebas dan terbuka. Kebebasan ini tentu sangat mengkuatirkan banyak pihak yang berkepentingan. Sehingga akan sangat baik bagi mereka bila internet dapat dikontrol melalui regulasi yang ketat.

Saat ini dukungan masyarakat pada kebebasan internet sangat kuat sehingga ide mengontrol internet secara ketat sungguh sulit diimplementasikan. Sebuah hukum dan regulasi membutuhkan persetujuan dari masyarakat untuk dapat diberlakukan. Dukungan masyarakat pada hal ini pun perlu dimobilisasi. Perlu diketahui, untuk merubah persepsi masyarakat dibutuhkan waktu yang cukup lama dan tak bisa dipaksakan. Harus secara perlahan. Maka, ide tentang kontrol internet harus diberikan dalam dosis kecil. Biasanya dalam usaha merekayasa persepsi masyarakat, pertama-tama yang dilakukan adalah menciptakan kenangan buruk atas suatu hal yang hendak disasar.

Menghilangkan kebebasan internet adalah tujuan yang ingin dituju, maka kenangan buruk atasnya harus diciptakan. Inilah fase awal yang nampaknya sedang berjalan saat ini dengan menggunakan Florence sebagai kambing hitam. Target awal dari ini adalah menciptakan ketakutan pada masyarakat dalam bertindak bebas di internet.

Inti dari kasus Florence sebenarnya bukanlah pada makian yang terlontar. Kasus ini lebih menitikberatkan pada tindakan bebas Florence dalam menggunakan media sosial untuk mengkritik. Hanya saja memang cara Florence menuangkan kritik dalam makian sangat tidak tepat. Hal ini kemudian ditangkap dengan baik dan dijadikan pijakan awal. Status Florence kemudian disebarkan kesegala arah untuk membentuk opini tentangnya. Bahasa gaulnya, isu Flo digoreng sampai gosong. Sebenarnya, bila status Florence tidak disebarkan oleh pihak tertentu, takkan ada kasus seperti ini. bila Florence disebut sebagai penyebar kebencian, sebenarnya ini salah besar karena sang penyebar kebencian yang sebenarnya adalah si koki yang menggoreng isu. Florence hanyalah kambing hitam yang dinilai tepat dijadikan tumbal. Bukankah memang untuk menjadi tumbal diperlukan syarat tertentu.

Florence, Tumbal Bagi Dewa Kebencian

Di jaman dulu, tumbal untuk dewa adalah perempuan cantik yang masih perawan karena ia adalah lambang kesucian dan keindahan yang belum tercemar. Keindahan yang suci adalah konsep yang sesuai dengan selera dewa yang baik. Sedangkan Florence adalah tumbal yang cocok untuk menumbuhkan kebencian. Dilihat dari konteks sosial penduduk Jogja memiliki  sejarah permusuhan dengan mahasiswa pendatang terutama dari luar Jawa khususnya timur. Kebetulan Florence adalah pendatang yang memiliki penampilan mirip orang timur. Ia juga berasal dari kampus ternama. Sama seperti ini misalnya, berita tentang orang besar dan suci lebih menarik daripada berita orang kecil. Berita tentang UGM yang telah terkenal kebesarannya dan kehormatannya jauh lebih menggelegar daripada berita yang berhubungan dengan kampus kecil swasta yang menjamur di Jogja.

Semua syarat ini sangat cocok dan ada pada diri Florence. Efek lainnya adalah jenjang S2 yang melekat. Mudahnya begini,” anak S2 saja tingkahnya seperti itu, bagaimana yang S1. Orang timur memang begitu”. Bukankb ah Florence memang tumbal paling tepat untuk membangkitkan kebencian dan memobilisasi kemarahan.

Hasilnya pun luar biasa. Rakyat Jogja kebakaran jenggot. Begitu juga dengan ratusan ribu orang lain mantan mahasiswa yang pernah tinggal di Jogja dan merasakan keramahan Jogja ikut mencela Florence. Kebijaksanaan dan keramahan Jogja yang selama ini melekat menguap seketika berhadapan dengan kasus Florence. Sehingga mereka bisa begitu tega menghancurkan kehidupan dan masa depan Florence.

Bungkam Netizen dengan Frasa “Kebebasan yang Bertanggung Jawab”

Tahap pertama rekayasa persepsi masyarakat sedang berjalan dan hampir sukses. Publik terkecoh dan tergiring. Entah kenapa masyarakat Indonesia saat ini begitu mudah digiring opininya. Sebenarnya, tidak hanya sekali upaya penggiringan opini terjadi, namun hampir setiap waktu dan setiap kesempatan. Seakan masyarakat sudah kehilangan dirinya dalam banjir informasi sehingga tak memiliki pegangan kuat untuk menilai. Memaki saja dihukum dengan penjara. Sungguh ini tindakan berlebihan, namun masyarakat saat ini melihatnya tidak seperti itu. Mereka menilai itu adalah hal yang wajar. padahal, bayangkan bila kejadian ini menimpa anak mereka sendiri. Dengan mantap mereka menghukum Florence dengan hukum “kebebasan yang bertanggung jawab”. Namun ini bukan salah masyarakat sepenuhnya. Ini lebih tepatnya keberhasilan sang penyebar kebencian dalam menghasut masyarakat.

Budaya Jogja yang halus dan menjunjung tinggi kesopanan di atas kebebasan menjadi lahan tepat untuk membenturkan sifat internet yang bebas dengan konteks sosial. Padahal, harap diingat bahwa internet terlepas dari wilayah Jogja. Internet adalah dunia virtual yang berada di luar Jogja, di luar realitas. Tata aturan Jogja tak dapat diterapkan di sosmed.

Selain itu frasa ini sebenarnya sangat bias dan kabur. Bagaimana sebenarnya yang disebut “bertanggung jawab”? bertanggung jawab pada siapa? Apa bentuk tanggung jawabnya? Makna dari kata tersebut mirip karet yang bisa melar kemana saja. Mirip seperti pasal karet.

Keadaan ini membuat netizen jujur (bukan akun anonim) ragu untuk bertindak. Kenangan buruk Florence tertancap kuat di benak mereka. Manfaatnya adalah netizen menjadi ragu ketika harus melontarkan  kritikan pedas pada pemerintah atau perusahaan raksasa yang korup. Menjadi semakin menakutkan ketika menulis di sosmed dapat dikenakan hukuman pidana penjara selama 6 tahun seperti Florence. Bila tahap awal dari rekayasa persepsi masyarakat ini bisa diterima oleh publik, paling tidak oleh mayoritas atau oleh minoritas yang dapat bersuara seperti mayoritas, maka bisa segera naik pada tahap kedua.

Solusi yang Bisa Dipertimbangkan

Sampai sekarang semua ini memang hanya bersifat hipotesis. Namun, kemungkinan ini bisa saja terjadi. Kita tentu tak bisa membiarkan hal ini terjadi. Internet harus tetap bebas. pertentangannya dengan budaya sekitar sebenarnya bisa saja di atasi dengan mudah. Kita, lewat kementrian Informasi bisa mengusulkan pada Path untuk menyediakan program yang mampu menghalangi/menyensor penggunaan kata-kata kasar tertentu bagi pengguna Path dalam menulis status. Peraturan yang sama bisa ditawarkan pada sosial media lainnya seperti facebook dan twitter sehingga ke depannya masalah ini takkan terjadi lagi.

Solusi selanjutnya adalah dengan mengajak Florence untuk menyatakan rasa bersalahnya secara tertulis dalam media massa lokal. Setelah permohonan maaf tertulis itu di muat, maka permasalahan ini sebaiknya dianggap selesai.

Florence sudah cukup mendapat pelajaran atas tingkahnya. Semoga hanya berhenti sampai di sini. Jangan sampai kasus ini menjalar lebih jauh lagi seperti hipotesis di atas. Jangan sampai kita kehilangan demokrasi yang dibangun dengan susah payah ini. Salam damai untuk kita semua.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline