Ada percakapan Bapak-Bapak di suatu tempat, "Ya, anak dibiarkan saja bermain. Mau jatuh, menangis, berkelahi, itu adalah pembelajaran."
"Betul," timpal Bapak yang lain.
"Iya. Biarkan saja. Toh, waktu kecil kita juga sering terjatuh," tambah Bapak yang lain.
Jika kita lihat sekilas, maka akan nampak sebuah metode pembelajaran learning by doing. Tetapi, betulkah demikian? Jawabannya, adalah tergantung situasi dan kondisi. Tergantung niat Bapak-Bapak dalam mengucapkan hal tersebut.
Jika sulit melihat niat seseorang, maka setidaknya kita dapat mengamati indikator-indikator yang ada. Yang sangat terang benderang adalah kepedulian. Bersediakah Si Bapak mengambil sebagian peran ibu?
Kebetulan, untuk kasus percakapan di atas kondisinya tidak seperti yang nampak. Mengasuh anak kadang terlihat tabu bagi Bapak-Bapak. Sekedar menggendong, memandikan, menyuapi, apalagi jika sampai menceboki. Wait. Ini anak siapa ya? Guru Paud saja bersedia menceboki anak muridnya.
Saya dulu pernah melihat suatu kondisi satire saat ada gambar seorang ibu sedang menyuapi anak. Sebuah pertanyaan berbentuk uraian singkat dilontarkan. Kurang lebih bunyinya begini: Gambar tersebut adalah contoh kasih sayang ... Tanpa dinyana, jawabannya adalah pembantu.
Jika Bapak-Bapak menganggap kegiatan rumah tangga cukup dilakukan pembantu, maka akan begitu akibatnya. Ada hal-hal tertentu yang perlu dibatasi.
Dalam ajaran agama maupun budaya, ada koridor yang jelas. Misalnya budaya menyiapkan makanan dan menghidangkan minuman kepada suami, sebaiknya dilakukan istri.