Lihat ke Halaman Asli

Kho Ping An

Diperbarui: 1 Februari 2017   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dia bukan orang terkenal atau pesohor. Bukan juga artis papan atas atau pengusaha. Dia tetanggaku di kampung dan orang biasa saja. Sudah menyatu dan tak terpisahkan dari kampung masa kecilku dan namanya tetap dikenang sampai sekarang. Kami sedari dulu hingga sekarang (ketika mengenang) memanggilnya dengan sebutan "papa". Mengikuti cara memanggil anak-anaknya.

Dia dikenang bukan karena telah melakukan suatu tindakan hebat. Bukan pula karena sudah menyumbangkan dana sangat besar untuk kegiatan kampung. Dia membayar iuran warga sama dengan lainnya. Juga senantiasa ikut meramaikan lomba 17 Agustusan maupun karnaval tingkat kecamatan.

Kampungku mayoritas (99,5%) muslim dan beretnis jawa. Setiap hari kami berbicara dengan bahasa jawa khas daerah pandalungan yang kesannya agak keras dan kasar. Namun, keluarga Kho Ping An ini membuat kampungku sedikit berwarna. Beretnis tionghoa dan beragama Nasrani.

Kho Ping An hampir tak pernah absen dalam kegiatan warga. Ketika ada tetangga yang meninggal dunia, dia senantiasa ikut mengantar ke liang kubur. Saat tahlilan hingga 7 hari, dia hampir selalu hadir. Setiap undangan kenduri hampir selalu dia hadiri. Bahkan, selamatan jelang ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi, dll hampir selalu berpartisipasi.

Dia memang berdoa berbeda, tak sama dengan yang dipanjatkan warga lainnya ketika selamatan. Terkadang, dia tampak komat-kamit kala sedang dipanjatkan doa oleh pemimpin doa, tapi dari gerak bibirnya beda dengan yang sedang dipanjatkan. Kala hari besar keagamaan Islam, dia juga biasanya ikut mengantar makanan ke tetangga seperti yang dilakukan oleh lainnya. Wajar dan tanpa prasangka.

Kho Ping An seorang Nasrani taat. Tiap hari Minggu, dia senantiasa berdoa ke gereja di dekat pasar kecamatan. Sayangnya, gereja tersebut sekarang sudah tak dipakai lagi karena ada beberapa warga yang menuntut penutupannya dua tahun lalu. Alasannya, gereja tersebut sejatinya rumah seorang pendeta yang difungsikan sebagai rumah ibadah. Saya tak tahu mengapa kampungku tak seperti dulu lagi.

Sebagai anak-anak, saya juga sering mengintip rumah Kho Ping An setiap Minggu malam. Bersama keluarga dan koleganya, mereka melakukan doa bersama. Apa respon warga kampungku saat itu? Tak ada protes atau komplain sama sekali. Semua tahu, tiap Minggu malam di rumah Kho Ping An sering digunakan untuk doa bersama. Kami semua menghormati dan hanya anak-anak kecil nan usil saja yang mencoba mengintip dan menguping alunan doa mereka. Selebihnya, semua baik-baik saja.

Ketika Kho Ping An meninggal dunia, jangan tanya siapa yang mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhirnya. Warga sangat banyak yang mengantar dan memberi ucapan bela sungkawa. Tak ada pikiran bahwa dia berbeda dengan lainnya. Tak ada pikiran bahwa dia minoritas dan kami mayoritas. Guyub rukun mengiringi jenazahnya. Semoga Tuhan menerima amal ibadahnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline