Lihat ke Halaman Asli

Sejuta Kisah dari Delft (2)

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13914279551720353325

Ketika berada di pesawat terbang, saya membayangkan jika Delft itu kota cukup besar dan ramai. Kehidupan berjalan terus hampir 24 jam layaknya kota besar. Asumsinya, Belanda negara maju dan pastinya kotanya pun senantiasa ramai. Namun, bayangan tersebut langsung buyar begitu mendapat cerita dari istri dan mengamati jalanan kota kala berada di atas tram. Delft kota sunyi dengan berjuta sejarah Kerajaan Belanda.

Saat itu sedang musim panas sehingga matahari pun sangat rajin terbit. Saat paling menarik ketika menikmati pagi, yakni dengan mengamati lalu-lintas. Jam sudah menunjukan pukul 10.00 CET, dan ternyataa...Jalanan masih sepi bak jalan desa depan rumah di kampung (mungkin lebih ramai di kampung #ngawur). Sangat tenang dan hawanya cukup segar. Bebas dari bising dan polusi. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan pusat kota?

Bayangan awal, pusat Kota Delft penuh dengan gedung-gedung pencakar langit. Setelah menggenjot sepeda sejauh 3 Km, pusat Kota Delft ternyata unik dan artistik. Bak kembali ke era bada pertengahan dengan bangunan-bangunan yang anggung dan artistik. Taka ada sama sekali gedung pencakar langit. Kotanya pun bisa dilintasi dengan sebatang rokok kretek, tuntas dan tandas.

Groete Markt

Muffin dan serba 1 euro. Inilah yang dikejar tiap Kamis dan Sabtu. Pasar rakyat di alun-alun kota atau centruum (groete markt). Penjual kue muffin selalu menjadi langganan tiap hari pasaran tiba. Selain itu, sayur dan buah-buahan seharga 1 euro per baki jadi sasaran berikutnya. Tak hanya itu saja, hiruk-pikuk manusia dari berbagai bangsa kumpul jadi satu. Berbagai aksesoris dan cinderamata khas Indonesia juga banyak diperjualbelikan.

Ada salah satu gerai yang menjual berbagai cinderamata khas Bali. Tentu saja, penjaganya bule asli. Ketika didatangai, sang bule ternyata fasih berbahasa Indonesia, bahkan sedikit Bahasa  Jawa. Saat dia bertanya asalku dan ku jawab Lumajang, sang bule langsung tahu. “Saya pernah ke sana (Lumajang) dan tinggal beberapa hari. Istri saya asli Banyuwangi sehingga saya pun bisa berbicara dalam  Bahasa Indonesia dan sedikit Bahasa Jawa,” tuturnya.

Dalam pasar ini banyak ditemuakan berbagai barang kebutuhan. Pakaian, roti, keju, hiasan, dan sebagainya tersedia. Mereka berjejer dengan rapi dan sang penjual pun tidak pasang wajah curiga kepada pengunjung. Muffin, 1 euro, dan suasana yang nyaman membuat saya hampir tak pernah melewatkan begitu saja pasar dadakan ini. Akibat terlalu sering ke pasar, sang bule penjual cinderamata tersebut jadi akrab. Kami saling meyapa, bahkan saya pernah diledek sombong karena tak menyapanya. Bukan sengaja, tapi memang benar-benar tak melihat. Maaf...

[caption id="attachment_293652" align="aligncenter" width="1020" caption="Groete Markt di Centruum Delft"]

1391428079693285179

[/caption] [caption id="attachment_293655" align="aligncenter" width="1152" caption="Cinderamata khas Nusantara yang dijual di salah satu lapak"]

139142817045303780

[/caption] [caption id="attachment_293656" align="aligncenter" width="1152" caption="Batik juga ada"]

13914283102098229284

[/caption]

13914284022038593093

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline