"Bayangkan kalo tani nggak ada sekarang, walaupun pernah nggak ada, bayangkan aja berapa dana impor untuk memenuhi ketergantungan? Berapa banyak guncangan emosional yang muncul saban hari sebab kekurangan asupan? Bayangin aja dulu." -- Retno Setioadji, Ekonom salah satu kabupaten Jawa.
Kemampuan bertani kiranya menjadi hal dasar bagi masyarakat Indonesia. Apalagi mengingat kemandirian pangan dan kebesaran negeri ini berasal dari hasil tani.
Asyiknya lagi, kita disuguhkan dengan kondisi manusia yang belum meminati bahkan kurang mempelajari dan praktik tani oleh beberapa sebab. Apakah itu benar?
Kita boleh saja melihat tani sebagai pekerjaan mulia, sebab memberikan suplai nutrisi kepada tumbuhan dan sesama manusia. Tapi, boleh saja, kita anggap sebagai keahlian murni seseorang, dan kita memiliki keluputan di kalimat terakhir.
Teringat lirik yang menurutku dapat dipadatkan dengan akronim Bung Karno, "Bertani dianggap kuno (pada saat ini), namun kekunoan itulah penopang ekonomi Indonesia."
Mari kita melintas sedikit mengapa bertani itu kuno dan tidak diminati?
Pegangan yang Dilupakan dan Sering Tak Tercantum
Menjalani masa tani, ada beberapa pegangan yang mesti terjaga dan tidak semuanya memahami itu. Epistemologi Jawa pernah menyatakan adanya pancer atau titik utama pada suatu tindakan, dimana dalam pertanian terdapat pada alatnya, yaitu cangkul atau pacul (tr. Jawa).
Resapan pacul dapat dielaborasi ke dalam bahasa kekinian, yaitu "berpaling pada sifat culas" yang masih bersarang di jiwa manusia. Culas disini dapat dimaknai sebagai angkuh dan serakah, apapun yang dilakukan selalu ingin diraup sendiri, untuk kebutuhan sendiri, sampai menyisihkan kepedulian.
Teknisnya cukup jelas, membuang yang mengganggu pertumbuhan dan menyatukan untuk kebutuhan pertumbuhan hewani dan nabati dalam satu gempur.
Dari teknis saja ada latihan kebersamaan dan membersamai pertumbuhan sesuatu, artinya ada rasa peduli dan merasa ada intervensi dalam segitiga kehidupan (Tuhan, manusia dan sesuatu yang ditanam).