Lihat ke Halaman Asli

Arief Rahman Nur Fadhilah

Mahasiswa Magister Psikologi Unair

Keunikan Orang Surabaya yang Bikin Orang Jawa Lain Mengelus Dada

Diperbarui: 12 Mei 2024   12:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seperti yang kalian tahu, orang jawa itu jumlahnya banyak banget dan tersebar kebanyakan di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Buat yang bukan orang jawa, kalian harus paham dulu. Walaupun sama-sama jawa, tapi orang jawa dari ketiga provinsi ini tuh jawanya ga sama. Jangankan antar provinsi, antar kota saja kadang ketahuan bedanya. Mulai dari bahasa sampai perilakunya. Contohnya ada jawa ngapak, jawa jogja-solo, sampai istilah "jawa timuran". Saya sendiri jujur juga baru ngeh banget sama variasi ini kemarin saat masih jadi Maba Unair. Dulu sempat mengira kalau uniknya Surabaya ya cuma di kata "Jancok" dan "Bonek"nya saja. Setelah ketemu macam-macam orang jawa di kampus, saya baru ngeh ternyata orang Surabaya tuh dipandang agak gimana gitu sama jawa-jawa yang lain. 

  1. Misuh-misuh jadi hal yang wajar

Kita bahas dulu keunikan paling khasnya. Ingat Surabaya, pasti ingat "jancok". Kata-kata ini sudah melekat dengan warga lokal. Karena lahir di Surabaya, saya juga sering reflek mengucapkan kata emas ini. Entah ketika marah, sedih, kaget, bahkan senang. Kata ini sudah jadi imbuhan wajib buat sesama teman. Malah keliatan ga akrab kalau ga dipakai. Ibarat makan nasi goreng tanpa micin. Hambar.

Sialnya, saya dulu ga paham kalau anak muda jogja ga punya kebiasaan ini. Ya mungkin ada, tapi sepertinya saat misuh pun kedengarannya masih sangat sopan di telinga saya. Saya masih ingat betul, waktu itu kami jalan-jalan di sela-sela mengerjakan tugas ospek. Kami mampir ke Lapangan Hockey di sebrang RSUD Dr.Soetomo. Waktu sudah sore dan langit warnanya jadi kuning keemasan. Karena takjub dengan alam ciptaan tuhan, saya pun memanjatkan rasa kagum sembari berkata, "wih cok gateli, deloken langite. uapik cik". Seketika itu teman saya yang kebetulan orang Jogja langsung melotot dan pasang muka kaget. Ga lama berselang dia bilang, "sopan banget ya orang Surabaya". Agak lama kami diam. Saya lalu tanya dengan polosnya, "opo'o?". Barulah setelah itu dia menjelaskan kalau "kombo" ya saya baru keluarkan tadi sangat nggak sopan buat dia bahkan untuk sesama teman.

  1. Kemana-mana pakai jaket padahal kotanya punya 5 matahari

Kalau yang satu ini sebetulnya agak universal ya. Ga cuma sesama orang jawa aja yang kaget, kebanyakan pendatang juga mempertanyakan fenomena aneh ini. Tetapi kebiasaan ini ternyata cukup bikin orang sekitaran Surabaya seperti Mojokerto dan Malang keheranan. Maklum, mereka ini tinggalnya di dataran agak tinggi. Terbiasa dengan suhu kota mereka yang relatif lebih dingin ketimbang Kota Pahlawan. Teman-teman saya yang asalnya dari Malang sering sambat kalau kos nya masih terasa panas di siang hari padahal sudah ada kipas dan AC. Banyak yang mengeluh juga kalau ada jadwal kuliah siang. Di kos saja sudah panas, apalagi kalau disuruh jalan ke kampus. Sampai kelas pasti sudah mirip orang habis dari sauna. Gobyos lur!.. 

Pertama kali saya ngeh kalau kebiasaan pakai jaketnya orang Surabaya ini dianggap masalah ketika dulu masih ospek dan diadakan rapat angkatan. Waktu itu kami malam-malam berdiskusi tentang membuat pakaian identitas angkatan. Diskusi mendadak jadi sengit karena tiba-tiba saja kami sudah terpecah menjadi dua kubu. Kubu pro jaket dan kontra jaket. Argumen kubu yang kontra (kebanyakan pendatang) bilang kalau Surabaya itu panas. Kalaupun itu jaket sudah jadi, ga akan mereka pakai karena cuma bikin gerah badan. Sedangkan yang mendukung (kebanyakan orang surabaya, gresik, dan sidoarjo) bersikeras kalau mending bikin jaket karena paling memungkinkan dipakai kemana-mana. Lagian di Surabaya, pengendara motor kebanyakan juga pakai bahkan di siang hari. Bukan buat apa-apa, cuma biar nggak gosong aja kena terik matahari.

  1. Anak Muda Surabaya Banyak Ga Bisa Bahasa Jawa Halus

Saya ga bilang semuanya ya, tapi memang banyak anak muda Surabaya gelagapan kalau diajak ngomong menggunakan basa krama. Apalagi kalau yang ngajak ngomong orang-orang sepuh. Daripada dianggap ga sopan dan ga beretika, biasanya auto pindah pakai bahasa indonesia. Saya pun juga begitu. Cuma bisa ngomong "nggih", "matur nuwun", dan "ngapunten". Sisanya sekedar tau tapi nggak pernah coba dipakai di percakapan sehari-hari. Mau gimana lagi? Ibu orang Sunda dan Ayah orang jakarta. Saya cuma kebetulan lahir disini. 

Dugaan paling kuat dari fenomena ini adalah karena Surabaya diisi banyak pendatang. Bagian barat Surabaya banyak cindo, daerah kenjeran banyak orang madura, dan kawasan ampel penuh keturunan arab. Belum lagi pendatang-pendatang lainnya. Otomatis bahasa jawa yang digunakan juga bahasa jawa sehari-hari antar teman. Dalam tatanan bahasa jawa, basa ngoko jadi level yang paling kasar. Parahnya, banyak orang bilang kalau bahasa jawa di Surabaya bahkan lebih kasar dari itu. Beberapa orang menyebutnya dengan istilah suroboyoan.

 Terlepas dari hal-hal tadi yang dianggap nyeleneh, orang surabaya jelas tetap bangga dengan identitasnya. Memang seharusnya begitu. Lagipula, semboyan Bhineka Tunggal Ika ada juga karena alasan ini kan?. Hanya saja PRnya untuk anak muda Surabaya, jangan lupa belajar bahasa jawa yang benar kalau nggak mau dikaploki orang Jawa Tengah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline