Lihat ke Halaman Asli

Otoritas, Otoriter, Otoritatif: Kemajuan dan Kemunduran Dunia Islam

Diperbarui: 23 Agustus 2021   20:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Arief dan Buku Karya Ahmet T. Kuru (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Satu hari yang lalu, saya mendapati sebuah paket yang berisi buku karya Ahmet T. Kuru, seorang guru besar Ilmu Politik dan Direktur Pusat Studi Islam dan Arab di San Diego University yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Buku itu berjudul "Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim". 

Dalam perjalanannya di tahun yang sama, buku ini telah mengalami dua kali cetak ulang oleh KPG Gramedia. Saya satu di antara orang yang beruntung mendapatkan buku hangat, segar, bergizi. Baiklah, saya tidak ingin berpanjang kalam, mari kita ulas bersama. Semoga mampu membawa angin segar bagi realitas muslim hari ini.

Ahmet T. Kuru, dalam bukunya menunjukkan beberapa data yang menyebabkan ketertinggalan negara mayoritas Muslim. Pertama, otoritarianisme yang tidak proporsional. Berdasarkan data dari Freedom House yang dirilis tahun 2013 menunjukkan bahwa tidak sampai satu per lima dari 49 negara mayoritas Muslim yang menganut demokrasi elektoral. Kedua, ketertinggalan sosio-ekonomi. Negara-negara mayoritas Muslim mencatat pencapaian yang lebih rendah dari rata-rata dunia dalam bidang melek huruf, lama masa sekolah, pendapatan nasional bruto, dan tingkat harapan hidup.

Edisi Asli buku Ahmet T. Kuru (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Kita tahu bersama bahwa pada abad 8 sampai abad ke-11, dunia muslim mengalami masa keemasannya dalam bidang filsafat dan pembangunan sosio-ekonomi. Menurut Kuru, masa keemasan dunia Islam diraih karena peran ulama dan kaum intelektual yang menjaga jarak dengan kekuasaan. Banyak dari kaum Intelektual muslim waktu itu, lebih dari 70% ulama dan keluarganya bekerja dalam bidang perniagaan. Sebab kedekatan dengan kaum pedagang mampu menjaga independensi dan kemerdekaan berpikir kaum intelektual.

Independensi kaum Intelektual sangat diperlukan guna mencegah monopoli tafsir yang disebabkan oleh tangan penguasa. Kuru, menyatakan: "Keragaman pandangan agama dan filsafat di bawah Dinasti Umayah dan Abbasiah, memiliki kesempatan yang terbatas untuk mensakralkan otoritas mereka. Mereka tidak pernah berhasil mengklaim posisi suci untuk pemerintahan mereka. Tidak seperti Eropa, di mana raja diklaim sebagai dewa dan memerintah atas nama Tuhan." Wawancara Tirto.id (7/5)

Keberhasilan dan kegagalan di dunia Muslim dan Eropa Barat bisa dijelaskan dengan hal yang sama. Hubungan antara empat kelas; agama, politik, intelektual, dan ekonomi. Ketika sedang maju, di dunia Muslim terdapat borjuasi dan kelas intelektual yang sangat dinamis. Para ahli agama memosisikan diri berjarak dengan otoritas politik. Namun, sejak pertengahan abad ke-11, ekonomi mulai lebih terpusat, struktur negara menjadi semakin militeristik, dan agama menjadi semakin sempit cakupannya.

Tak lama berselang, masa keemasan Islam pudar pada abad ke-11 dan ke-12. Hal ini disebabkan oleh penguasa semakin otoriter sehingga mengancam kemerdekaan berpikir dan independensi kaum ulama dan kaum intelektual. Selain itu terdapat gelombang represi dan persekusi.

"Pada pertengahan abad ke-11, khalifah Abbasiah, mendeklarasikan aliran Sunni. Mereka mengumumkan bahwa Mu'tazilah, filsuf muslim rasional adalah kafir. Kaum Syiah, terutama Syiah Ismailiyah adalah kafir. Dan muslim yang tidak taat adalah kafir. Deklarasi ini berarti pembentukan ortodoksi Sunni. Hal ini menjadi alat represi politik untuk menghukum pandangan yang bersebrangan. Oposisi. Oleh karenanya, menjadi filsuf dianggap rendahan. Orang mulai merasa takut disebut filsuf setelah abad ke-12. Sikap anti intelektual ini berlanjut hingga sekarang."

Kuru, mengajukan argumentasi alternatif dalam bukunya, yaitu: kaum Muslim hari ini memerlukan kaum intelektual dan borjuasi untuk mendapatkan kembali dinamisme saintifik dan sosio-ekonomi. Dan kelas-kelas itu harus menghadapi serta mengkritisi otoritas persekutuan ulama-negara. Untuk mengimbangi tingkat demokrasi dan pembangunan Barat, Muslim tak harus meniru model Barat sepenuhnya.  Muslim punya sejarah sendiri sebagai sumber ilham dan contoh untuk kebangkitan kembali dinamika sains dan ekonomi

Kuru pula menambahkan, tidak ada cara lain untuk mengembalikan kejayaan dunia Islam  kecuali dengan membangun masyarakat yang terbuka, demokratis, dan ekonomi yang kompetitif. Kita perlu berpikiran terbuka, menjunjung tinggi keragaman, kreatif, kompetitif, toleran. Ortodoksi menghancurkan heterodoksi adalah hal yang keliru. Jika kaum muslim mesti memilih, jalan prgraesif atau melestarikan traisi, mereka harus mengingat bahwa tradisi mereka, sejarah mereka amat kaya dengan gagasan yang bisa dipakai untuk membentuk masyarakat demokratis dan sistem meritokratik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline