Lihat ke Halaman Asli

Idul Fitri: Momentum Rekonsiliasi Diri

Diperbarui: 12 Mei 2021   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rekonsiliasi Diri (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

TAK ada satu pun umat manusia yang terlepas dari dosa. Sejak Adam-Hawa diturunkan Tuhan ke bumi, manusia selalu menorehkan noda dosa di dalam dirinya. Dosa yang terucap dan diperbuat. Baik pada diri sendiri atau orang lain. Bahkan orang saleh pun pernah sesekali dalam hidupnya melakukan kesalahan. Orang saleh adalah bukan orang yang tak pernah berbuat salah. Melainkan orang yang dengan penuh kesadaran diri mengakui pernah berbuat salah. Sehingga timbul kesadaran dalam dirinya untuk terus selalu mengoreksi dan memberi maaf seluas-luasnya. Dengan kesadaran inilah manusia mampu dan bersedia untuk terus khidmat, bersimpuh, pasrah menengadah di hadapan Tuhan untuk memohon ampunan.

TAK kurang dari satu hari, kita semua -- umat Islam di seluruh penjuru negeri -- akan menyambut Idul Fitri. Idul Fitri menjadi satu momentum untuk penyucian diri. Suci dari segala hal yang mampu mengotori diri. Baik lahir maupun batin. Sehingga dalam perayaan Idul fitri, kita tak ayal mendengar ungkapan "mohon maaf lahir dan batin". Sebagai bagian dari upaya saling menyadari kesalahan dan memaafkan untuk kembali pada kesucian sebagai manusia.

Sudah dua kali, umat Islam di Indonesia merayakan Ramadan dan Idulfitri dalam suasana pandemi Covid-19. Perayaan Idul fitri di masa pandemi ini relatif jauh dari ingar-bingar, kesunyian, dan kesenyapan. Suasana keheningan-kesunyian hari raya sejatinya suasana untuk merekonstruksi lebih jauh dalam diri sebagai upaya dalam merefleksi, mengevaluasi, dan merenungi sejauhmana kita berbuat kebaikan-kebenaran dan menciptakan harmoni bagi sesama manusia. Tidak ada lagi keangkuhan, kemarahan, dan sika-sikap yang mampu melukai manusia lain dengan tingkah laku yang diperbuat.

Kesunyian-kesenyapan Idul fitri di masa pandemi ini, membuat kita mengetuk diri bersama bahwa kesadaran merekonsiliasi menjadi penting. Suasana sunyi menambah keharuan untuk memberi peluang lebih besar bagi kita untuk bersama-sama membuka "pintu langit", berdialog secara intens dengan Tuhan atas segala karunia yang telah diperoleh. Satu hal pula yang bisa kita hayati bersama, adalah suasana kesenyapan. Kesenyapan idul fitiri ini mengantarkan manusia memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk melakukan perenungan dan rekonsiliasi dengan dirinya. Sebagai bagian dari mempertanyakan eksistensi diri dalam mengimplementasikan ibadah dan ajaran agama selama Ramadan yang mempunyai implikasi bagi kehidupan di bulan-bulan berikutnya.
Sekurang-kurangnya terdapat dua hal yang bisa kita pahami dalam memaknai Idul fitri sebagai upaya merekonsiliasi diri.

Pertama, merekonstruksi makna memaafkan. Separuh dari kita memberi maaf sudah menjadi hal lumrah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari momentum Idul fitri. Namun, sebagian lagi yang memahami, memberi maaf pada hari raya menjadikannya mengingat dan mengungkit kesalahan yang telah lalu. Seolah pada hari itu, pintu kesalahan terbuka dan kunci-kunci keangkuhan melegalkan dirinya. Hal inilah yang perlu kita sadari bersama, bahwa merekonsiliasi diri dan orang lain menjadi modal besar untuk menumbuhkan kesadaran kolektif  dengan berbekal ketulusan, keikhlasan, dan teguh secara total memaafkan berbagai khilaf orang lain -- termasuk diri kita sendiri--- tanpa menyisakan sedikitpun luka di dalamnya.

Kedua, menumbuhkan kemampuan membaca diri. Membaca diri sendiri sebagai makhluk Tuhan dan peneguhan atas kesadaran untuk meningkatkan kualitas kedirian dari waktu ke waktu sejatinya adalah kemenangan yang hakiki. Suatu kemenangan melawan kuasa hawa nafsu, impuls angkara murka, angkuh, dan lainnya. Selain itu, kemampuan membaca diri bisa dipahami dengan mengontrol, mengawasi, menindak atas segala perbuatan yang tidak dikehendaki oleh Tuhan. Kemudian mengubahnya dengan berbagai perilaku konstruktif, empatik, dan produktif. Dengan begitu, makna kesejatian Idul Fitri akan menemukan titik labuh yang nyata dalam diri kita. Menjalin berkelindan yang nampak dalam perilaku keseharian.

Pada saat yang sama, kemampuan bersikap lapang, teguh, dan tidak memiliki mental pasrah menengadah mengharap imbalan dari orang lain mengantarkan manusia untuk selalu merasakan hikmah dan karunia dari Tuhan. Ia akan selalu bersikap positif dan bersyukur atas segala yang diterimanya dalam hidup.

Dengan dua hal ini, akan menjadikan kita memiliki kematangan jiwa, keluhuran budi, keteguhan hati dan sikap lain yang selalu diaktualisasikan dalam budi baik perilaku. Baik secara individual maupun sosial, sehingga kesejatian iman akan membuahkan titik labuh pada dermaga-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline