Lihat ke Halaman Asli

Arief

Freelancer

Belajar Cara Dwi Soetjipto Turunkan Hutang Jangka Pendek Pertamina dari US$ 4,7 miliar Menjadi "Nol"

Diperbarui: 4 April 2017   15:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam masa jabatan di Pertamina yang terbilang singkat, hanya dari 28 November 2014 sd 3 Februari 2017 (2 tahun 2 bulan), serentetan prestasi yang membawa kemajuan Pertamina berhasil ditorehkan Dwi Soetjipto. Yaa.......Dwi mewarisi kondisi Pertamina yang sedang bermasalah, seperti turunnya harga minyak dunia dari kisaran US$ 100 per barrel menjadi US$ 40 perbarrel, ketergantungan kinerja Pertamina pada sektor hulu sehingga sektor hilir dan bisnis Pertamina yang mencakup banyak sektor usaha menjadi . menjadi “puyeng” yaitu kebutuhan dollar yang besar setiap bulannya, khususnya setiap akhir tahun. Bahkan agar Pertamina dan PLN tidak memburu dollar di pasar terbuka, Menteri Keuangan dimasa itu memerintahkan bank BUMN untuk memasok kebutuhan dollar kedua BUMN tersebut, jika tidak cukup sisanya mencari di pasar. Tentu saja diantara Pertamina dan PLN, kebutuhan dollar Pertamina jauh diatas PLN mengingat impor BBM yang rata-rata sebesar 600 ribu barrel per hari, jika harganya sekitar US$ 120 per barrel, maka dibutuhkan US$ 72.000.0000 per hari, atau per bulan butuh dollar US$ 2.160 milliar atau setara dengan Rp 20 triliun per bulan.

Kembali pada topik sesuai judul tulisan ini, dengan tingginya ketergantungan pada impor BBM serta lainnya, termasuk tentu saja impor barang modal untuk sektor hulu, geothermal dan lainnya, maka hutang Pertamina menjadi berjibun. Yang mengerikan tentu saja banyak hutang tersebut yang sifatnya adalah jangka pendek. Mengapa hutang jangka pendek, bisa jadi adalah permintaan dari kreditur yang “kurang percaya” dengan prospek bisnis Pertamina sehingga amannya tentu saja mengucurkan hutang jangka pendek. Seperti dalam Kredit Pemilikan Rumah, semakin panjang tenor kredit tentu semakin ringan tekanan cicilan dari debitor, seiring kenaikan gpendapatan debitur maka semakin lama debitur akan merasa semakin ringan mencicil rumah, dan tentunya bagi perbankan akan semakin besar margin bunga yang didapatkan.

Pertamina dan Anak Usaha Menanggung Hutang jangka pendek capai US$ 4,98 miliar atau setara Rp 60 triliun

Pasca diangkat sebagai Dirut Pertamina pada RUPS 28 November 2014, per Desember 2014 total Saldo Short Term Loan (Trust Receipt) Pertamina mencapai US$ 4,98 miliar atau setara dengan Rp 60 triliun dengan komposisi "US$ 4,7 miliar di Pertamina sebagai induk" dan "US$ 0,28 miliar di anak usaha". Dwi Soetjipto yang juga menyandang gelar Magister Keuangan, melakukan serangkaian “financial engineering” dan negoisasi serta merubah sistem keuangan di Pertamina sehingga pada Desember 2016 mampu menurunkan Saldo Short Term Loan (Trust Receipt) menjadi hanya US$ 0,13 miliar atau sekitar Rp 1,6 triliun. Itupun hutang jangka pendek US$ 0,13 miliar ada di anak usaha, karena di Pertamina selaku induk usaha sudah “nol” alias tidak punya hutang jangka pendek.

Dapat dibayangkan lepasnya tekanan Pertamina dari kewajiban jangka pendek dari semula Rp 60 triliun ke Rp 1,6 triliun atau turun sekitar 97,3%. Maka dengan lepasnya Pertamina dari hutang jangka pendek, banyak manfaat yang diperoleh pertama tentu saja penurunan resiko pinjaman yang diberikan perbankan. Pembubaran Petral dan pengadaan melalui ISC Pertamina yang salah satunya adalah merubah tata cara pembelian minyak dari "menggunakan Letter of Credit" ke "Barang tiba lalu dalam jangka waktu tertentu dibayar" menjadikan Pertamina yang saat itu via Petral hutang jangka pendek ke Perbankan. Cukup hasil mutar BBM hasil impor kemudian hasilnya untuk membayar ke para supplier.  Akibatnya Pertamina mudah memperoleh pinjaman dengan bunga yang sangat kompetitif, dampak positif lainnya tentu saja ruang untuk meminjam menjadi semakin besar sehingga memudahkan Pertamina untuk membiayai mega proyek sebagai upaya dukungan bagi upaya mewujudkan program kemandirian energi sebagaimana dicantumkan dalam Nawacita Jokowi.

Jadi tentu tidak benar rumor yang berkembang pasca pencopotan Dwi Soetjipto yang dikatakan dalam kepemimpinannya hutang Pertamina membengkak. Konteks membengkak ini “bisa bermakna ganda”. Kinerja Pertamina turun-stagnan dengan hutang membengkak tentu adalah bahaya. Tetapi dengan kinerja Pertamina yang moncer dengan hutang yang membengkak untuk sebuah investasi, tentu adalah cara membangun perusahaan dengan baik. Dengan investasi yang terukur, maka kedepan pendapatan Pertamina akan berlipat ganda, sehingga bukan persoalan untuk mengembalikan pinjaman, karena tentunya keuntungan perusahaan juga berlipat ganda.

Megaproyek Rp 700 triliun, tidak sulit dibiayai Pertamina

Yaa.....megaproyek Pertamina senilai Rp 700 triliun dalam kurun waktu 2016-2023 tentu membutuhkan pinjaman yang besar, karena porsi pinjaman umumnya 70% dari nilai proyek. Namun, itu untuk jangka 7 tahun atau pertahun rata-rata hanya butuh investasi Rp 100 triliun per tahun. Dengan 30% dari kas Pertamina maka dibutuhkan penyisihan Rp 30 triliun dari keuntungan tiap tahun. Keuntungan Pertamina 2016 sebesar Rp 41 triliun, asalkan Pemerintah tidak meminta bagian deviden, maka Pertamina dapat menyisihkan Rp 30 triliun untuk pembiayaan proyek dan Rp 11 triliun untk pengembangan usaha. Oleh karena itu, target 2017 minimal Pertamina harus untung Rp 50 triliun? Sebuah angka yang fantastis, tapi mestinya bisa. Ini jadi tantangan bagi Dirut Pertamina yang baru Elia Massa Manik. Jika konsisten menambah Rp 10 triliun keuntungan tiap tahun, maka semakin lama semakin ringan Pertamina membiayai mega proyek tersebut karena di tahun 2023 nanti keuntungan Pertamina akan mencapai Rp 110 triliun, atau hanya 28% keuntungan untuk pembiayaan proyek. Nahhh...deviden Pemerintah dari Pertamina bisa diminta mulai tahun 2020 saat keuntungan Pertamina sudah mencapai Rp 80 triliun.

Tantangannya adalah "efisiensi" pada Megaproyek yang tentu banyak pihak yang mengincar proyek tersebut. Keberanian Dwi Soetjipto untuk memulai pengelolaan megaproyek Pertamina dengan cara Swakelola seperti RDMP Balikpapan adalah cara untuk meningkatkan efisiensi sekaligus kemandirian dan peningkatan kualitas SDM Pertamina sekaligus. Ekspansi Pertamina diberbagai negara, yang tidak tertutup kemungkinan untuk membangun megaproyek di negara lain semisal kilang minyak di negara yang memiliki sumber minyak mentah melimpah, pengelolaan pembangunan kilang dapat dilakukan secara Swakelola, sehingga suatu saat Pertamina akan memiliki "Enginering Center kelas dunia dan patent-patent yang dapat menjadi sumber pemasukan bagi Pertamina".

Dengan kapasitas produk Pertamina yang “nyaris” sama, baik kapasitas pengilangan yang sekitar 800 ribu barrel, kapasitas pemasaran dan lainnya yang naik linier dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang dikisaran 5 persen, justru kinerja Pertamina di tahun 2016 melompat keuntungan naik 122 persen.  Coba dibayangkan tahun 2023 saat kapasitas pengilangan minyak Pertamina mencapai 2 juta barrel atau naik sekitar 250 persen, maka keuntungan Pertamina minimal dapat naik 500 persen atau akan mencapai Rp 200 triliun. Sebuah angka yang fantastis dan melebihi realisasi hasil Tax Amnesti yang hanya Rp 110 triliun.  Bayangkan jika untuk Rp 200 triliun lalu 50% masuk sebagai deviden, akan ada Rp 100 triliun sumbangan Pertamina ke APBN. Ini belum dari aspek pajak yang bisa mencapai lebih dari Rp 300 triliun.

Publik mesti dukung Pertamina untuk “Lepas Landas”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline