Tidak ada yang menang ataupun kalah, keduanya "Go-Jek dan Grab Bike" sama-sama menjadi pemenang. Ojek pangkalan akan tersingkir dan cara satu-satunya adalah melakukan perlawanan fisik seperti di Kalibata City dan beberapa kawasan lain yang dengan terang-terangan sudah dibuat papan pengumuman "Go-Jek dan Grab Bike" dilarang masuk. Ibarat seolah-olah persaingan Indomaret dan Alfamaret yang pada akhirnya mereka justru mereka hidup berdampingan memperbesar pasar minimarket yang terimbas adalah toko kelontong di perumahan/perkampungan yang perlahan tutup. Ulasan selengkapnya sebagai berikut:
Perang Promo Rp 5.000 Grab Bike vs Rp 10.000 Go-Jek
Secara hitung-hitungan matematis untuk jarak 25 km dengan ongkos Rp 5.000 ataupun bahkan Rp 10.000 itu hanya cukup untuk beli bensin 1 liter, artinya hanya untuk biaya operasional rutin. Terus pengojek dapat uang dari mana? Tentu berasal dari subsidi perusahaan tempat bernaung Grab Bike dan Go-Jek. Menarik menyimak ucapan dari Bos Go-Jek yang meminta pesaingnya untuk merasionalkan tarif (simak di sini). Akibat persaingan inilah promo tarif Cemban terus diperpanjang Gojek, meski mulai 14 Agustus 2015 di Jakarta tarif Go-Jek sudah naik jadi Rp 15.000, tentunya tarif ini juga minim sekali dan belum menutup pendapatan pengojeknya, atau dengan kata lain Nadiem Makarim mesti masih nombok terus.
Pertanyaannya, nombok sampai kapan? Tentu sampai Grab Bike dan Go-Jek lelah berdarah-darah menyubsidi pendapatan pengojeknya, apalagi dengan pemberitaan pendapatan pengojek yang bisa di atas Rp 12 juta per bulan, maka suatu saat di Jabodetabek bisa saja 80% pengojek tradisional gabung ke Grab Bike dan Go-Jek atau sekitar 40.000 pengojek. Mau nombok terus? Mari kita hitung jika seorang pengojek bisa menarik 10 penumpang sehari yang "konon" tarif per km ojek online ini sekitar Rp 2.000, jika jarak tempuhnya adalah rata-rata 10 km maka minimal tarifnya adalah Rp 20.000. Jika tarifnya "diasumsikan saja PROMO Rp 10.000", maka perusahaan mesti nombok Rp 10.000 X 10 trip X 40.000 atau sekitar Rp 4.000.000.000 per hari. Atau Rp 120 miliar per bulan.
Tarif promo tersebut memang belum lama diterapkan, taruhlah baru 3 bulan. Pertanyaannya adalah apakah selama beroperasi tahun 2011 tabungan perusahaan Go-Jek sudah ratusan miliar sehingga bisa menyubsidi lebih dari Rp 200 miliar untuk bayar para pengojeknya (asumsi market share Go-Jek sekitar 60-70%). Begitu pula Grab Bike yang berasal dari Grab Taxi, memang sudah berapa tabungan yang dimiliki perusahaan ini sehingga berani menyubsidi besar-besaran pendapatan pengojeknya. Okelah Grab Taxi berasal dari Malaysia dan sudah beroperasi lama, ya... apa sudah untung triliunan rupiah sehingga bisa menyubsidi sebegitu besarnya.
Tarif Promo dan Pendapatan Pengojek Belasan Juta "Strategi Gimnick" Memperbesar Armada
Penulis meyakini bahwa tarif promo ini hanya upaya "mempercepat edukasi" pengguna ojek agar segera memanfaatkan jasa Go-Jek maupun Grab Bike, sambil di saat bersamaan kedua perusahaan ojek online ini melakukan rekruitmen besar-besaran. Jadi seperti strategi di manufaktur "kampanye pemasaran gede-gedean" sambil segera tingkatkan kapasitas produksi. Pemberitaan pengojek yang bisa bawa uang rata-rata Rp 8 juta per bulan, bahkan ada yang bisa Rp 12 juta atau ada juga Rp 15 juta merupakan strategi untuk segera "secara super instan" menggaet ojek tradisional.
Pendapatan belasan juta ini masuk akal dan mungkin, kenapa? dengan "citra yang sedang meroket" apalagi PROMO gila-gilaan maka siapa saja akan mencoba layanan Grab Bike ataupun Pengojek. Sehingga pengemudi yang ada saat ini "akan kewalahan ambil order", yang jika bisa dapat 10 penumpang sehari dengan jarak antar 25 km maka sehari pengojek bisa kantongi uang sekitar Rp 500 ribuan yang jika dikalikan 30 hari tentu bisa tembus Rp 15 jutaan. Pengalaman penulis sambil menikmati jasa ojek online "nanya-nanya" pendapatan mereka yang belum mencapai angka "yang dimunculkan itu", ini hanya sekedar cross check penulis terhadap hipotesa yang dibuat dengan "kira-kira kenyataannya seperti apa".