Bukannya tidak nasionalis, tapi film Indonesia bukanlah pilihan pertama atau kedua untuk memuaskan diri akan hobi saya dalam menonton film. Tak semata karena kualitas filmnya, namun gaya bercerita dalam film Indonesia yang lambat, dipenuhi adegan naratif untuk menggambarkan suatu peristiwa terasa membosankan bagi saya.
Jadi ketika ada ajakan untuk nobar film Susi Susanti: Love All bersama rekan kerja yang mendapatkan tiket gratis, saya tak ragu untuk menolak, selain karena waktunya terlalu mepet dengan waktu kepulangan saya dari luar kota dan harus segera berkegiatan di kantor.
Namun ternyata kegiatan di kantor diundur pada malam hari, dan malah menyisakan banyak waktu kosong. Tak pelak, saya ubah pikiran dan putuskan bergabung ke cineplex untuk nobar. Beruntung saya berubah pikiran, karena ternyata film ini cukup memuaskan.
Sebelum masuk kedalam cineplex, saya tak punya pretensi apa pun. Tak berharap tinggi. Hanya ingin menghabiskan waktu saja. Namun ketika adegan pembuka muncul, ketertarikan saya langsung timbul. Cerita, akting dan suasana yang dibangun tampak menjanjikan. Kayaknya ini film bakalan bagus, bisikku antusias pada rekan sebelah kursiku.
Benar saja, cerita mengalir lancar mulai dari Susi remaja yang ternyata lebih jago bulutangkis dibandingkan kakaknya yang sebenarnya dipersiapkan terlebih dulu untuk menjadi atlet bulutangkis seperti papanya.
Selanjutnya kita diperkenalkan kepada keluarga Susi yang ternyata urang sunda pisan walaupun keturunan Cina. Kehangatan keluarga mereka digambarkan seperti semangkok ciapo, sejenis sop ayam yang disajikan hangat yang seringkali disajikan sebagai menu favorit keluarga Susi.
Susi remaja yang diperankan dengan baik sekali oleh Moira Tabina Zayn, membuat saya makin menikmati film ini. Cantik sekali anak ini
Chemistry yang dibangun Moira dengan Iszur Mochtar yang memerankan tokoh papa pun terjalin dengan indah. Saya yakin ketika Susi Susanti melihat adegan ayah anak ini pasti akan mengeluarkan air mata mengenang sang ayahanda.
Lokasi dan properti yang ditampilkan dalam kisah yang berlatar tahun 80-an juga terasa dipersiapkan secara detail. Bangunan yang dijadikan latar mampu menunjukkan suasana dan kondisi tahun itu. Juga mobil dan motor yang lazim ditemukan pada tahun itu pun terlihat padat mengisi layar.
Adegan pun berlanjut ke paruh kedua. Susi Susanti dewasa diperankan oleh Laura Basuki. Kebanyakan lokasi diambil di sekitaran Pelatnas, dan lapangan pertandingan bulutangkis. Sekali lagi, suasana lampau terasa pas melalui tangkapan layar kamera.
Awalnya saya apriori miring atas pemilihan Laura Basuki yang menurut saya terlalu cantik untuk perankan Susi Susanti. Maaf ya Ci Susi. Namun dalam waktu singkat, saya dibuat takjub melihat tampilannya. Mirip Susi, bisikku lagi pada rekan sebelah. Gak salah pilih, pikirku.