Lihat ke Halaman Asli

Arief Nadip

Alumni HMI Cabang Malang

Filsafat Post-Truth di Indonesia : Tantangan Kebenaran di Era Informasi

Diperbarui: 10 Januari 2025   20:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di era digital ini, masyarakat Indonesia menghadapi fenomena yang disebut sebagai "post-truth," sebuah konsep yang mengacu pada situasi di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih memengaruhi opini publik daripada fakta objektif. Fenomena ini memiliki dampak yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan, mulai dari politik, media, hingga budaya masyarakat. Dalam konteks filsafat, post-truth menantang gagasan tradisional tentang kebenaran dan membuka ruang diskusi tentang bagaimana masyarakat memahami realitas.

Post-Truth dan Media Sosial

Salah satu faktor utama yang mendorong era post-truth di Indonesia adalah perkembangan teknologi informasi, terutama media sosial. Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram telah menjadi alat utama penyebaran informasi, tetapi juga sering kali menjadi sarang disinformasi dan hoaks. Dalam filsafat, kebenaran seharusnya bersifat universal dan objektif. Namun, dalam era post-truth, kebenaran menjadi relatif, bergantung pada narasi yang lebih menarik secara emosional daripada logis.

Misalnya, dalam ranah politik, opini publik sering kali terbentuk bukan berdasarkan fakta, melainkan oleh narasi yang didesain untuk memengaruhi emosi, seperti rasa takut, kebanggaan, atau kebencian. Fenomena ini terlihat dalam berbagai peristiwa politik, seperti pemilu, di mana berita palsu sering digunakan untuk membentuk persepsi masyarakat.

Tantangan dalam Pendidikan dan Literasi

Post-truth juga menantang sistem pendidikan di Indonesia. Banyak masyarakat yang belum memiliki kemampuan literasi digital yang memadai untuk membedakan antara fakta dan opini, atau antara berita yang valid dan berita palsu. Filosofisnya, ini mengarah pada pertanyaan mendasar: apakah kebenaran masih menjadi nilai utama yang dicari? Jika tidak, apa yang menggantikannya?

Dalam tradisi filsafat, Aristoteles menekankan pentingnya logos (logika) dalam menyampaikan argumen, tetapi di era post-truth, ethos (kepercayaan) dan pathos (emosi) sering kali lebih diutamakan. Tantangan bagi pendidikan adalah mengembalikan keseimbangan ini, sehingga masyarakat dapat memprioritaskan fakta tanpa mengabaikan dimensi emosional dan sosial dari kebenaran.

Dampak Sosial dan Politik

Filsafat post-truth memiliki implikasi besar dalam hubungan sosial di Indonesia. Pola pikir berbasis post-truth dapat memperburuk polarisasi masyarakat, karena individu cenderung hanya mencari informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka (fenomena "echo chamber"). Akibatnya, dialog antar kelompok menjadi semakin sulit, dan upaya mencapai konsensus atau kesepahaman menjadi lebih menantang.

Dalam konteks ini, pendekatan filsafat hermeneutik---yang berfokus pada interpretasi dan pemahaman---dapat membantu menjembatani perbedaan. Dengan mendorong masyarakat untuk mendengarkan narasi dari perspektif lain, kita dapat membangun dialog yang lebih konstruktif dan membuka peluang untuk menemukan kebenaran bersama, meskipun itu mungkin bersifat plural dan kontekstual.

Solusi dan Harapan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline