Lihat ke Halaman Asli

Ariefmdnews.com

Mahasiswa Prenuer

Goresan Tinta Merah

Diperbarui: 9 November 2023   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Mila Nurpiani & Sevi Rahayu, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Ahmad Dahla (Dokpri)

Goresan Tinta Merah

Tirai kamar bergerak kesana-kemari tak beraturan, menari-nari pada permukaan wajah Geoval. Ia membuka matanya sedikit, mendengakkan kepalanya kearah jendela yang lupa ia tutup. Posisi badannya ia ubah seketika dengan berat hati, meraba-raba tirai yang mengganggu ketenangannya saat tertidur. Matanya, menangkap siluet tubuh seseorang wanita yang sedang duduk di kursi goyang sambal menyisir rambutnya sendiri dengan jemarinya perlahan.

Brak!

Geoval kehabisan napas, menutup tirai beserta jendelanya rapat-rapat. Ia segera berlari menuju sudut kamarnya, membuka laci meja dan berusaha meraih benda yang ada di dalamnya. Kakinya melemas, tangannya bergetar, dan keringat dingin mulai berlomba-lomba menyusuri dahi lelaki berusia 29 tahun itu.

"Nak, Lanjutkan tidurmu dan pesan ibu." Suara orang yang ia cintai terdengar, dengan nada lemah lembut dari balik pintu diiringi ketukan.

Geoval terlelap.

"Nak, bangun. Lanjutkan pesan ibu." Geoval membuka matanya dengan kasar, keringat mulai bercucuran lagi dari dahinya. Jam tua itu menunjukan sudah pukul 6.15 pagi.

Pagi ini, ia membelah jalanan kota dengan mobil berwarna hitam pekat yang ia bawa kemanapun ia pergi. Ia memacu mobilnya itu dengan kecepatan yang tidak rendah, hendak menuju tempat balas dendam. Ia menepi di jalanan yang sepi, kanan dan kiri dihiasi pepohonan yang lebat dan menjulang tinggi. Geoval masuk kedalam salah salu lorong yang merupakan apitan dari dua buah bangunan tua yang tak berpenghuni.

"Mari saya antar." Setelah mendengar kalimat tersebut, Geoval menganggukan kepalanya dan mengikuti Langkah kaki seseorang yang sudah menunggunya entah sejak kapan.

Langkah kakinya bermuara pada sebidang tanah yang diatasnya terdapat bangunan sederhana, Nampak rapuh dan berantakan. Geoval melepaskan alas kakinya, dan mulai memasuki bangunan tersebut dengan hati yang khawatir namun raut wajahnya sudah mati seperti tidak lagi terdapat saraf-saraf yang bisa membuatnya berekspresi. Geoval mengepalkan kuat tangannya, menampakan bekas tancapan kuku pada telapak tangannya sendiri. Ia menatap nanar seseorang di depannya sedangkan yang di tatap hanya menunduk ketakutan tanpa berkata apapun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline