Lihat ke Halaman Asli

Tukang Cari Rumput di Desa juga Butuh Gadget

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa iya tanpa gadget seakan hidup di hutan!? Bahkan di hutan pun, sekarang butuh gadget. Tentu hutan yang terjangkau sinyal. Baik itu GSM, maupun CDMA. Apabila tidak ada sinyal GSM atau CDMA, bisa pakai HP satelit, bagi yang mampu memiliki. Tidak membatasi gadget yang semaksimal bagaimana kemampuannya. Minimal yang sekedar untuk sms dan telpon, bukan hanya dari pelajar SD sampai pedagang kaki lima. Di desa saya, tukang cari rumput, pekerja serabutan, tukang ojek, bahkan orang-orang tua yang anak-anaknya merantau di kota, semuanya butuh gadget. Jangan salah kira dengan mereka, sekarang malah tidak lagi puas dengan gadget hp yang sekedar untuk telpon dan sms. HP dengan kualitas kamera bagus, tak luput dari kepemilikan. Berapa sih mahalnya harga gadget. Tinggal tunjuk pohon jati beberapa biji, pohon mahoni, atau akasia di belakang rumah, sudah bisa beli gadget yang harganya jutaan. Lantas bagaimana isi pulsanya? Separah-parahnya, dengan memotong kayu yang terhitung ranting, diikat, lantas dibawa ke warung makan, sudah bisa beli pulsa. Begitu kok hidupnya susah. Susah dari mana? Ya memang di satu sisi tidak ada kelihatan susahnya. Biarpun makan nasi dengan lauk seadanya, tapi gadget tetap menjadi kebutuhan utama di desa. Entahlah berapa pemasukan dari satu BTS di desa yang terpencil. Sampai wartel-wartel lumat tanpa sisa. Gara-gara gadget :) Hingga tukang cari rumput pun butuh. Bukan lagi sekedar bergaya. Tapi sering saya saksikan sendiri, bagaimana transaksi pemesanan rumput, dilakukan lewat handphone. Pekerja serabutan pun sama saja, pesanan untuk bekerja di sana sini, garapan bangunan sampai sekedar membersihkan kebun, juga pakai handphone. Apalagi tukang ojek, gadget seolah menjadi wajib dimiliki. Biarpun sekarang sudah cenderung sepi. Itu pun juga gara-gara gadget. Biasa tukang ojek mendapatkan konsumen di terminal bus atau pesanan, sekarang konsumen sudah sms atau telpon ke saudaranya minta dijemput. Tukang ojek berarti kehilangan satu konsumen. Apalagi untuk orang-orang tua yang anak-anaknya bekerja di kota. Dulu komunikasi musti lewat wartel, sekarang di dalam rumah pun sudah bisa langsung terhubung dengan anaknya. Walaupun masih ada juga yang buta huruf, tapi sekedar menerima telpon, dengan memencet tombol OK/YES yang biasanya berwarna hijau, sudah bisa terhubung berkomunikasi dengan anaknya yang jauh di sana. Ada juga satu komunitas di desa, yang merasakan manfaat dengan adanya handphone. Yaitu komunitas blantik, pedagang sapi dan kambing. Masing-masing dari mereka, sudah biasa punya gadget. Dengan begitu, tidak khawatir "dipermainkan" pemilik hewan ternak. Upama sudah menawar seekor hewan dengan harga tertentu yang tidak disepakati pemilik hewan ternak, biasanya pemilik menawarkan ke blantik yang lain. Dengan handphone, informasi itu cepat tersebar ke seluruh komunitas blantik. Jangan harap pemilik hewan ternak akan mendapat kenaikan harga dari blantik pertama yang menawar. Kecuali kalau boleh dihutang untuk beberapa bulan. Ada lagi satu yang unik. Seorang pekerja serabutan, sekolah hanya sampai kelas 2 SD, namun mahir smsan. Tapi walau sudah diberitahu berkali-kali, kalau nulis sms tetap saja huruf W memakai huruf V. Tidak apa-apa, semua sudah hapal dan paham. Yang penting bisa ber-gadget ria. Dan mendapat manfaat yang sebanyak-banyaknya dari pemakaian gadget di desa. Melihat pada berbagai fenomena tersebut, gadget terbukti sangat melengkapi kebutuhan kita. Bukan hanya yang tinggal di kota. Bahkan berbagai profesi dan status mereka yang tinggal di desa. Serasa sudah tidak bisa lepas dari gadget. Terlihat bagaimana heboh dan kelihatan susah mereka di desa saya, apabila listrik sedang mati, sinyal juga ikut mati. Repot. Butuh ini itu, harus berjalan datang langsung ke yang dituju. Sinyal hilang, tidak bisa lagi sekedar say hello, atau ngajak bareng-bareng mencangkul, cari rumput, atau gotong royong membangun rumah tetangga bersama-sama. Pemberitahuan jadi tidak praktis. Harus mendatangi satu persatu apabila butuh sesuatu. Gadget, memang sudah sedemikian lengket menjadi kebutuhan hidup kita. Di kota maupun di desa. Mulai dari eksekutif di gedung mewah, sampai profesi petani yang bekerja di sawah. Gadget, sudah merubah gaya hidup, berbarengan dengan kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. *gambar foto koleksi sendiri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline