Musim kemarau kali ini ternyata lumayan panjang. Sampai akhir bulan September, hujan belum juga datang. Para petani di daerah saya Gunung Kidul, khususnya lagi para tetangga yang kebanyakan bertaninya dengan sistem tadah hujan, kali ini hanya bisa sekedar menumpuk pupuk kandang di lahan yang kian kering. Aktivitas bercocok tanam di lahan tadah hujan, otomatis macet total.
Hampir sama pada masalah ketergantungan usaha dengan memakai air, demikian pula yang terjadi pada peternak puyuh. Habisnya tandon atau cadangan air juga menjadi masalah tersendiri. Hanya saja masih ada pemecahan untuk pengadaan air dalam beternak puyuh, yaitu dengan membeli air dari truk tangki.
Pedagang air yang menggunakan truk tangki sebenarnya sudah agak lama kelihatan berkeliling. Berarti sejak itu juga, sudah banyak yang membeli. Satu truk tangki memuat 5000 liter air. Harganya untuk sekarang, berkisar Rp 120 ribu. Tergantung tingkat kerepotan menuangnya. Jika agak jauh dari jalan yang membutuhkan sambungan pipa panjang, harganya bisa mencapai Rp 150 ribu. Bahkan apabila jalur jalan menuju pemesan cukup susah ditempuh, harganya menjadi Rp 175 ribu.
Pemesan air dengan truk tangki, biasa dipakai untuk keperluan rumah tangga. Selebihnya dari itu, biasa dipesan oleh peternak, baik peternak ayam maupun peternak puyuh seperti yang telah sedikit saya singgung di atas.
Sebenarnya memang sudah ada PDAM. Namun air dari PDAM tidak setiap hari mengalir. Satu minggu dua kali saja sudah sangat bagus.
Adanya air dari saluran PDAM ini lumayan membantu peternak puyuh. Namun kebutuhan rumah tangga keluarga lebih diutamakan dari kebutuhan air minum untuk puyuh. Sehingga membeli air dari truk tangki, masih menjadi solusi yang menolong dalam kondisi krisis air.
Lantas bagaimana dengan peternak puyuh yang lokasinya tidak terjangkau pipa PDAM? Lebih banyak sekali, dan tentu saja terbilang memprihatinkan. Sumber air minum puyuh, semata-mata hanya bisa mengandalkan dari membeli air truk tangki. Itupun sekalian untuk kebutuhan rumah tangganya, mulai dari masak, MCK, juga cuci pakaian.
Harap maklum saja, kebanyakan telaga sudah kering. Jika telaga masih banyak airnya, tentu kebutuhan MCK dan cuci pakaian lebih memilih di telaga.
Apalagi dengan kondisi sekarang ini, dimana harga telur puyuh semakin turun. Dalam dua minggu saja, sudah dua kali turun.
Berdasarkan dari perhitungan hasil dan obrolan dengan teman-teman peternak, keuntungan beternak pada musim kemarau kali ini, terhitung pas untuk membeli air dari truk tangki. Tentu saja untuk mencukupi kebutuhan keluarga, kebanyakan kemudian memutuskan "lari" sambil menjadi buruh bangunan di kota. Dihitung bersih setelah operasional, lumayan juga per-hari bisa mengantongi Rp 5 ribu - Rp 10 ribu. Bisa untuk bertahan hidup sederhana di desa, sambil mengencangkan ikat pinggang yang sudah kencang.
Tentu tidak semua penduduk di daerah saya seperti itu. Kira-kira 2 km dari tempat saya tinggal, ada satu dusun termasuk tidak terjangkau pipa PDAM, dalam hampir dua bulan ini, setahu saya sudah ada minimal 35 orang berangkat mencari kerja "proyek" ke Sumatera.
Bayaran kerja di sana lumayan tinggi, Rp 60 ribu per-hari. Banyak diantara mereka yang kerja di Sumatera, sekarang sudah bisa kirim uang untuk keluarganya yang ditinggal di desa. Terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mulai dari biaya sekolah, biaya makan, juga untuk beli air 5000 liter dari truk tangki, harganya Rp 120 ribu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H