Acara pesta pernikahan adalah pesta yang menggembirakan. Rata-rata dilakukan hanya sekali pada seseorang. Terkecuali yang poligami atau yang cerai kemudian nikah lagi.
Namun di sisi lain, ternyata acara nikah sering bikin susah. Bikin susah tapi nggak bisa ditolak. Bisa saja menolak, kalau mau resikonya dipencilkan oleh masyarakat atau suatu komunitas jika tidak menghadiri. Apalagi yang sudah pernah menyelenggarakan. Daftar buku tamu, nanti akan menjadi daftar pengundang.
Anggap saja kemudian sebagai salah satu kewajiban pergaulan.
Kenapa ada yang susah?
Salah satu yang menjadi unsur dari pesta pernikahan adalah sumbangan. Entah kalo di kota maupun lingkungan pergaulan middle up, saya tidak paham.
Di sini hanya akan bercerita tentang dibalik seputar acara pesta pernikahan di desa saya. Terutama fokus cerita pada yang mendapat undangan, sundulan, atau apapun istilahnya, intinya diharapkan datang.
Pak RT. Ketua Rukun Tetangga. Tentu rata-rata sudah tau tentang Ketua RT. Ujung tombak pemerintahan yang sekaligus lebih sering jadi ujung tombok pemerintahan.
Di desa saya sudah ada dua Pak RT yang "melarikan diri" cari kerja ke Sumatera.
Ngaku tidak ngaku juga salah satunya dengan pertimbangan "menghindari sumbangan"
(Di belakang kan beliaunya suka curhat). Lalu bagaimana dengan ibu RT? Paling juga cuma rewang tanpa nyumbang. Rewang adalah ikut membantu di acara perhelatan. Jika di kota sudah diborongkan. Di desa, penyelenggaraan pesta nikah masih didukung bersama warga se-RT ditambah sanak keluarga.
Menjadi ketua RT, tentu saja statusnya naik. Yang berarti, bertambah juga lingkup pergaulan dan hubungannya. Mulai dari sesama ketua RT, sampai ke perangkat desa. Berarti lagi, memasuki "musim kawin", siap-siap saja panen undangan.
Jadi ingat tentang anggota DPRD. Khususnya yang tingkat II, alias Kabupaten. Ada yang bilang, kalo nyaleg jangan tingkat dua. Upamanya jadi, malah repot katanya. Bersentuhan langsung dengan pemilih, nanti capek wira-wiri. Paling tidak ya ke kader-kadernya, mulai dari yang sakit, sampai nikahan. Semuanya terkait dengan sumbangan. Itu belum yang sesama anggota dewan.
Upama hanya mengandalkan gaji, anggap saja 7 juta, berapa bagian sudah diminta oleh partai. Tidak dihitung tunjangan-tunjangan, repot sendiri nantinya. Itu kalo hanya mengandalkan gaji..!!
Lain dengan ketua RT dan anggota dewan tingkat dua. Buruh tani yang juga buruh bangunan pun, jika sudah bicara tentang sumbangan acara pernikahan. Kebanyakan cuma mengeluh.
Bagaimana juga dengan pihak penyelenggara? Sama juga sami mawon. Apa bisa cari untung dengan modal pembiayaan pernikahan? Bisa kembali modal sudah bagus. Itupun karena mengingat sudah berapa saja yang dikeluarkan dulu-dulu dari sekian banyak menyumbang kemana-mana.
Itu belum lagi setelah melihat daftar tamu. Ini nih besok jadi tanggung jawabnya pengantin.
Repot ya sebenarnya? Tapi namanya juga senang-senang, biasa jika di belakangnya ternyata ada kesusahan.
Namun ada yang unik juga. Entah satu atau dua orang, biasa menghitung jumlah pengeluaran untuk sumbangan. Kira-kira habisnya maem, disesuaikan. Ada-ada saja. Walaupun tidak sedikit juga yang mempunyai kebiasaan amplop kosong. Cuma modal amplop, bisa makan-makan sepuasnya. He he he . . Dan penyelenggara biasanya maklum. Namanya juga senang-senang. Sekaligus menyenangkan orang lain.