Guru merupakan rahim bangsa dan salah satu faktor fundamental yang mempengaruhi kemajuan pendidikan suatu negara. Guru merupakan ujung tombak untuk merealisasikan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentu saja sebagai penentu dan patron dalam mencerdaskan kehidupan bangsa guru harus memiliki kompetensi yang tinggi dan memperoleh kehidupan yang layak serta perlu diperhatikan kesejahteraannya.
Menurut Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 14 ayat 1 (a) disebutkan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Pada pasal 15 ayat 1 dirincikan kembali yang dimaksud pada pasal 14 ayat 1 yakni meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan.
Tentu terdapat beberapa hak yang dapat diperoleh guru apabila telah memenuhi syarat tertentu seperti halnya hak tunjangan profesi yang bisa didapatkan apabila guru telah memiliki sertifikat pendidik atau tunjangan fungsional bagi guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, akan tetapi dapat disepakati bersama jika perihal gaji pokok semua guru memiliki hak untuk mendapatkannya dengan jumlah diatas kebutuhan hidup minimum dan terjamin kesejahteraannya.
Jumlah guru honorer di Indonesia sendiri berdasarkan data Kemendikbudristek tahun 2020 di sekolah negeri mencapai 742.459 orang. Jumlah ini yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dan kenyataannya di lapangan bisa lebih besar dari itu. Sedangkan menurut Status Kepegawaian dalam Statistik Pendidikan berjumlah 989.629 orang. Jumlah tersebut cukup menunjukkan tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mencari nafkah dan menggantungkan hidupnya sebagai guru honorer
Namun yang menjadi pertanyaan sekaligus bahasan pada tulisan ini adalah bagaimana kesejahteraan guru honorer pada realitanya? Apakah guru honorer telah hidup dengan sejahtera?
Dari waktu ke waktu kita tidak jarang mendengar berita ataupun informasi mengenai kehidupan dari seorang guru honorer yang kurang sejahtera, terkendala ekonomi, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, hingga kepada honorarium yang tidak kunjung ia terima. Problematika kesejahteraan guru honorer sudah menjadi masalah tahunan dan terus menerus diangkat ketika memperingati hari guru nasional, terutama mengenai peningkatan honorarium atau gaji yang diperolehnya. Pada kenyataannya memang tidak terdapat data eksklusif ataupun akurat mengenai tingkat kesejahteraan guru honorer di Indonesia, namun dengan melihat permasalahan kesejahteraan yang terus digaungkan dan selalu ada, itu sedikitnya cukup menunjukkan bahwa kesejahteraan guru honorer tentu tidak baik-baik saja.
Permasalahan ini bisa mempengaruhi kualitas guru, kendatipun bukan hal yang paling utama yang mempengaruhi kinerja, namun dengan gaji yang layak maka sepatutnya guru akan bersemangat dalam mengajar dan dapat mengembangkan kompetensinya. Selain itu dapat meringankan beban pikiran guru, sehingga guru akan terfokus untuk menciptakan pembelajaran yang berkualitas tanpa terganggu dengan permasalahan kebutuhan hidup pribadinya.
Terdapat masih banyak guru honorer yang digaji sangat kecil dengan nominal 200.000 bahkan 50.000 perbulannya. Pemberian honorarium untuk guru honorer yang terbilang kecil tersebut berasal dari dana BOS dan kenyataannya banyak sekolah yang mengalokasikan honor tersebut dari dana BOS sisa kegiatan operasional, namun beberapa terdapat tambahan dari dana APBD untuk menambah penghasilan guru tersebut. Selain itu Ketua Litbang PB PGRI, Sumardiansyah mengatakan di momentum diskusi tentang RUU Sisdiknas mengenai tunjangan kinerja guru yang tidak merata dan diberikan sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah.
Pada realitanya gaji dan tunjangan guru terbilang sangat rendah dan tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Dan banyak guru honorer yang mencari penghasilan tambahan dengan bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhannya. Padahal di dalam Pasal 14 ayat 1 UU No 14 Tahun 2005 secara jelas disebutkan bahwa guru dalam melaksanakan tugas ke profesiannya berhak mendapatkan penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum.