Lihat ke Halaman Asli

Arie Feryanto

Natura Magista

Etnosentrisme dalam Pendidikan

Diperbarui: 17 Juli 2021   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan Multikultur

Dr. Ode Sofyan Hardi, M.Si, M.Pd.

Dr. Aris Munandar, M.Si.

Arie Feryanto, S.Pd, Gr.

Sekolah sebagai ruang aktualisasi aktivitas proses pembelajaran yang memberikan pendidikan bagi generasi dari masa ke masa di setiap wilayah dimana jika melihat ragamnya pola sebaran budaya nusantara tentu akan ada kesan berbeda pada latar belakang peserta didik. Hal ini menjadikan perlunya sikap seorang tenaga pendidik untuk memperlakukan sebaiknya setara sama sesama mereka agar tetap memiliki hak mengakses informasi setiap kali pertemuan berlangsung dengan terus mengetengahkan nilai tentang makna dibalik ideologi bangsa yakni Pancasila tentang Persatuan Indonesia.

Maju dan berkembangnya suatu wilayah merupakan satu kesatuan interaksi dimana kelangsungan pendidikan sebagai tonggak tentang kesetaraan untuk peningkatan kualitas kehidupan agar pembangunan ekonomi dalam indeks pembangunan manusia semakin menunjukan makna tidak ada bias bagi pemilik modal dengan pekerja di bidang pemerintahan ataupun swasta. Dengan demikian pentingnya memaknai bahwa peran seorang tenaga pendidik sebagai pelaksana model bagi generasi mendatang tidak dapat terwujud, jika dukungan berbagai pihak bias hanya mementingkan segolongannya saja demi mempertahankan kelangsungan aristokrasinya. Untuk itu perlunya penanaman sikap pluralisme (ragamnya budaya) tanpa membeda seseorang berdasar historis masa lalu ataupun kesukuan tertentu harus terus diupayakan agar kecenderungan menilai sesaat tanpa menelaah ranah tersebut secara ilmiah turut membantu memperkokoh kesatuan bersama melawan rasisme dan diskriminasi agar terciptanya egaliter (bhinneka tunggal ika) sesuai falsafah hidup bangsa.

Konflik menjadi klimaks akibat isu RAS mencuat yang dipicu oleh masing masing kelompok untuk bertahan tidak ingin mengalah dengan memandang lebih unggul atau superior dari yang lainnya. Sikap seperti ini bagi peserta didik tentu memberikan dampak negatif tentang menilai teman sebaya berdasar suku, agama, dan ekonomi. Adapun dampak positif pun tentu akan sangat terlihat dalam situasi kelas yang sedang berlangsung seperti keaktifan saat sesi diskusi kelompok, memperkokoh solidaritas sesama suku dan pelestarian penggunaan bahasa daerah sebagai identitas tentang mempertahankan budaya dari gerusan modernisasi.

Upaya seorang tenaga pendidik tentu harus mampu melibatkan perannya sebagai guru memberikan kesempatan sama dalam ruang proses aktualisasi pendidikan dari ragamnya kultur setiap peserta didik agar tetap terakomodir namun dalam pengawasan tertentu agar menimalisir gesekan membuat garis pembatas sesama mereka tetap dalam satu kesatuan tanpa memiliki prasangka keberpihakan namun bersama memaknainya menghargai perbedaan agar tidak terulang hal serupa tentang disintegrasi bangsa.

Menurut Ningsih & Isnarmi (2019) dalam penelitiannya tentang usaha guru mengurangi etnosentrisme di sekolah yakni SMP Negeri 3 Lihak, Nan Duo, Pasaman Barat. Menunjukan bahwa usaha maksimal yang telah dilakukan, belum mencapai tujuan yang diinginkan. Dimana ternyata masih terdapat kentalnya sikap etnosentrisme peserta didik, ini dikarenakan adanya faktor penyebab etnosentrisme berasal dari luar lingkungan sekolah sangat kuat.

Fakor tersebut diantaranya yakni ; (1) sikap orangtua yang terkesan anti dengan orang yang tidak berasal dari sukunya membuat hal ini mudah ditiru oleh anak-anaknya, karena pendidikan pertama didapatkan oleh anak dari orangtua dirumahnya. (2) Lingkungan sekitar yang didominasi berasal dari suku yang sama dimana interaksi bermain berbaur bersama selepas pulang sekolah memperkuat etnosentrisme itu sendiri. (3) Faktor kebiasaan yang sudah turun temurun memperkuat etnosentrisme seperti adaya anggapan bahwa orang minang itu malas menurut orang Jawa, sebaliknya orang Minang memandang bahwa orang Jawa itu katrok. Dan inilah yang terus dibawa sampai sekarang hingga mnjadi bahan ejekan di sekolah sampai saat ini.

Menurut Elsha, Wanto, dan Rustivarso (2014) dalam penelitiannya tentang analisis entosentrisme antar kelompok siswa di kelas Xi IPS 1 SMAN 1 Sungai Ambawang. Diketahui bahwa dari hasil analisis data menunjukkan setiap kelompok peserta didik mendekati sikap etnosentrisme, antar kelompok etnis yang terjadi secara tidak sadar dalam memilih keanggotaan kelompoknya hanya sesama etnis, dengan ciri khas keetnisannya masing-masing, bersaing dan membuat pemisah antar kelompok, dalam hal mempertahankan kelompok untuk diakui dan menjadi peran utama di lingkungannya, memiliki kebersamaan etnis yang hanya memunculkan kekhasan kelompok tidak pada kekhasan individu, mempunyai identitas etnis yang kuat, kesepakatan dan mempertahankan kelompok, tetapi antar kelompok siswa tidak sampai pada segi terdapatnya tingkatan-tingkatan, membeda-bedakan, meremehkan (diskriminasi) antar kelompok. Terdapat dampak negatif yang ditimbulkan yaitu timbulnya solidaritas negatif. Tetapi dampak negatif ini dapat berdampak besar ketika masing-masing kelompok tidak membuat perubahan, untuk mengelompok pada porsinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline