Ketika sebuah rencana tidak berjalan baik kita pasti kecewa, dan kemudian memakai rencana B. Dan ketika rencana B gagal kita pasti mulai dengan rencana C. Dan ketika gagal lagi , kita pasti akan menggunakan rencana lain, namun ketika semua usaha kerja keras menghasilkan kegagalan lagi apa yang harus dilakukan?
Minta tolong bukan, namun ketika orang-orang yang diharapkan membantu malah menyalahkan dirinya, kenapa begitu? Kenapa tidak begini? Ditambah lagi ketika orang-orang yang ditolongin bukannya berterima kasih malah nyinyir menghinanya, maka safety off, kunci pengaman lepas. Semua perasaan yang ditahan selama ini akhirnya tumpah.
Ketika walikota Surabaya Risma bersujud dan menangis di depan para dokter terlihat jelas bagaimana seorang ibu yang sudah berusaha sekuat tenaga melindungi warganya, anaknya , namun gagal dalam menghadang covid19. Segala daya dan upaya dikerahkan namun semua terbentur oleh kerasnya penolakan para dokter di rumah sakit.
Semua rencananya berantakan karena mobil dan peralatan yang sudah dia siapkan malah diambil dan dipindahkan ke kota lain. Sujudnya bu Risma adalah sebuah keputusasaan dan pengharapan kepada para pengambil keputusan diatasnya. Para dokter dan gubernur sebagai pengambil keputusan akhir ternyata lebih kuat daripada seorang walikota. Nelangsa itu kata yang paling pas untuk perasaan sang walikota saat itu.
Kemudian di level yang lebih tinggi, seorang presiden suatu negara besar. Di awal pandemi menyerang depok langsung bergerak , gugus tugas dibentuk. Uang trilyunan disiapkan. Keputusan-keputusan penting dibuat, kemudian semuanya langsung cepat. Angka positif covid19 bergerak naik secara konstan. Namun apa yang terlihat hasilnya setelah 3 bulan. Dari yang biasanya hanya puluhan perhari menjadi ribuan perhari positif covid19.
Uang yang disediakan seakan tidak berarti. Setelah dicek ternyata baru dipakai dibawah 10 persen. Lah jadi selama ini para menteri dan tim gugus tugas bekerja seperti biasa. Rasa krisis tidak ada. Akhirnya pecahlah semua dalam suatu rapat. Wajar marah. Uang segunung tidak digunakan maksimal. Ibarat perang, menghadapi serbuan musuh bersenjata senapan mesin dilawan dengan batu dan pisau dapur. Peluru dilawan dengan pisau.
Dan akhirnya hanya diam didalam benteng, menunggu mati. Uang yang bisa ditukar dengan peralatan perang yang mumpuni hanya digunakan untuk membeli beras dan mie instan sebagai persediaan selama bertahan dari kepungan musuh. Padahal musuh sudah menyusup jauh ke tempat tidur kita.
Kota ibukota Jakarta saat ini stabil, banjir secara berkala berkunjung mengetuk pintu-pintu rumah mereka yang tinggal di bantaran sungai tidak peduli lagi wabah atau tidak. Kasus covid19 bertambah dengan lancar, angkanya stabil dalam ratusan tiap harinya. CFD yang tidak jelas gunanya saat pandemi diselenggarakan agar warga Jakarta senang. Jika angka covid19 semakin tinggi tenang saja, pusat pasti tidak akan tinggal diam.
Bantuan sosial dari pusat toh sudah lancar diberikan pada yang berhak. Para ketua RT sudah diberikan hak untuk mengatur jika ada masalah. Semuanya aman terkendali. Jikapun ada rongrongan demo di depan gedung DPR itu urusan polisi dan demo yang menuntut PPDB diulang karena menggunakan umur sebagai patokan , semua langsung diserahkan pada yang buat masalah, kepala Disdik DKI Jakarta, karena dia yang mengeluarkan SK nomor 501 tahun 2020, biar dia yang tanggung jawab.
Jangan tanya dimana gubernurnya , dia sedang sibuk kerja. Mana buktinya? Lihat saja tuh ke laut . Pembangunan sudah bergerak sampai jauh ke tengah laut, keputusan sudah ditandatangan sehingga jangan kaget kalo tiba-tiba Ancol berlipat-lipat luasnya. Kalau suasana sudah pas nanti pasti akan konferensi pers.