Lihat ke Halaman Asli

Membunuh Pasar Tradisional

Diperbarui: 13 Juli 2019   06:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

susana pasar tradsional di jakarta Timur/dokpri

Sabtu siang mampir ke pasar tradisional di samping pasar burung pramuka Jakarta Timur. Suasana panas dan berdebu adalah hal yang biasa untuk kota Jakarta yang hiruk pikuk. Ramainya pasar burung dengan kandang dan jeritan burung burung dalam kandang berbanding terbalik dengan sepinya kunjungan pembeli dan turis mancanegara yang semasa jayanya dulu kerap mengunjungi pasar ini.

Para penjual dan pedagang sibuk dengan gadgednya, main fb , ig dan mobile legend. Beberapa orang ada yang aktif dengan bukalapak dan tokopedia. Tehnologi dan informasi sudah masuk sampai ke jantung perekonomian maasyarakat. Sudah menjadi kewajiban dan keharusan agar bertahan hidup dalam berdagang.

Namun itu tidak semua pedagang bisa seperti itu. Ada mba Ira penjual jamu yang beralih dagang sayuran. Gigi depannya tinggal 1 karena rontok dimakan usia. Upi, Uni dan bu Joyo dan masih beberapa lagi yang tersisa dari pasar yang hampir mati ini hanya bisa bertahan dalam diam. Mereka yang sepuh dan merasa tua hanya duduk melamun sambil menggenggam Koran usang yang sudah berulangkali dibacanya. 

Berkomentar tentang betapa sepinya penjualan dan makin minimya pendapatan yang dihasilkan sepanjang hari ini. Keluhan mereka jelas , bagaimana membayar sewa bulanan kios yang ditagihkan setiap bulannya dalam rekening bank yang akan ditarik secara otomatis oleh PD.PASAR JAYA. Jika rekening kosong maka siap-siap akan datang surat tagihan beserta ancaman untuk di segel kiosnya.

Ahok memperkenalkan system penagihan otomatis seperti ini. Memang akan kita temukan banyak keuntungan system penagihan harian pasar ini. Irit dan efisien. Menghilangkan banyak tenaga tukang tagih yang akan menagih uang keamanan dan kebersihan yang biasanya berjalan 2 kali. Pagi dan sore. Tidak aka nada lagi kebocoran akibat uang yang tidak disetor dan lain-lain.

Namun bagi para pedagang hal ini adalah mesin pembunuh usaha mereka. Dagangan tidak laku namun tagihan harian harus dibayar full. Jualan mau laku atau tidak maka kamu harus bayar sewa. Dagang cuma buka sehari dalam sebulan maka kamu harus bayar karcis full sebulan. Hal yang sangat berbeda dengan masa-masa sebelum dia berkuasa. Yang pembayaran karcis pasar hanya berdasarkan dagang atau tidak saja. 

Kamu dagang 5 hari berarti cukup bayar karcis pasar 5 hari. Simple dan murah. Semua bahagia dan pasarpun tetap hidup walaupun jarang ada yang beli. Karena pedagang akan datang dan pergi sesuai dagangannya juga. 

Karenanya jaman suharto berkuasa ada pepatah kalo mau hidup cukup tinggal di pasar. Berbeda sangat jauh dengan kebijaksanaan sekarang ini.  Dan karenanya Ahok sangat dibenci para pedagang di pasar-pasar tradisional. Sad but true.

Saat ini satu demi satu pedagang mulai membeli rumah dan tanah di depan pasar tradional. Dan mulai memindahkan barang dagangannya ke toko dan kios baru mereka diluar pasar.  Bagi yang tidak dapat tempat maka mereka berdagang di halaman parkir dan sepanjang jalanan sekitar paar karena tidak sanggup membayar sewa kios. 

Dan yang bertahan di kios saat ini pusing sepuluh keliling memikirkan masa depannya. Apakah akan tetap dagang atau pindah dagangnya. Atau pilihan terakhir menjual kios pasar.

Maka tidak heran jika kita ke pasar tradisional yang akan kita temui orang-orang yang sedang melamun sambil terkantuk-kantuk menunggu pembeli yang tak kunjung datang. Jikapun ramai maka hanya pedagang yang diluar gedung ataupun pasar. Yang saat ini dengan adanya gubernur Anies mereka tidak dikejar ataupun diusir-usir. Bahagia warganya kaya pedagangnya sedikit terwujud bagi para pedagang kecil yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline