Sudah sekian bulan lamanya Anies Baswedan mengatur kota Metropolitan DKI Jakarta ini. Sudah kelihatan sekarang pola dan kebiasaan kerja dari gubernur yang sangat pandai dalam menata kata ini. Gebrakan-gebrakannya selalu membuat terpana penduduk dan masyarakat Jakarta. Out of the box. luar biasa. benar-benar diluar kebiasaan kita. Saya dan mungkin sebagian masyarakat Jakarta tidak pernah berpikir sampai disitu. It's amazing.
Namun lama-lama, dari pengamatan orang awam seperti saya, cara mengelola dan mengatur ibukota Negara ini mulai terbaca polanya. Dan jika dibandingkan pengelolaan kota oleh AHOK dan oleh Anies sudah terlihat bedanya. Sangat berbeda. Sangat-sangat bertolak belakang. Diibaratkan jika mereka berjalan mau ke suatu tempat, kemudian terhalang oleh sungai berarus deras dan dalam maka kita bisa lihat bagaimana cara mereka mengatasinya.
Untuk orang seperti Ahok sudah jelas. Sebagai lulusan Tehnik Geologi Universitas Trisakti. Dia akan berfikir lurus . Harus nyebrang sungai titik. Maka harus dibangun jembatan yang kokoh. Yang bisa berumur ratusan tahun. Tahan gempa dan bisa dipakai oleh semua orang dan kendaraan. Bagaimana biayanya. Biayanya NOL Rupiah. Semua ditanggung CSR.
Jelas. Clear. Kristal.
Bagaimana dengan cara Anies?
Sebagai lulusan Fakultas Ekonomi Universitas UGM dan University of Maryland USA, maka saya akan membayangkan adalah langkah yang pertama diambil adalah dia akan mencoba naik getek dulu. Jika sudah ada getek maka masalah selesai. Tidak perlu jembatan titik.
Namun jika tidak ada getek maka cerita berlanjut. Langkah kedua adalah mencari jalan memutar namun jika terlalu jauh maka dibuatlah jembatan bambu sebagai jembatan sementara sambil merumuskan apa yang akan diambil dan dikerjakan besok lusa. Kemudian rapat dengan staffnya untuk brainstorming mengatasai masalah ini. Perlu dibuat atau tidak, untung ruginya, panjang kali lebar kali tinggi. Setelah putus lalu dibikin disainnya. Rapat lagi untuk bikin tender dan budjet. kemudian penawaran lelang. Lalu baru munculah pemenang tender. Akhirnya jembatan bisa dibuat. Alhamdulillah jadi juga dibangun itu jembatan.
Namun karena rapat dan pengambilan keputusannya terlalu lama. Di sekitar jembatan bambu tadi sudah banyak tumbuh pedagang kaki lima. Rumah-rumah makan sederhana. Pokoknya lokasi tadi jadi ramai penuh tempat kegiatan ekonomi baru yang bagus dan pesat. Dan jadi masalah baru harus digusur atau tidak. Masalah ini akhirnya digodok ulang dalam rapat panjang di balaikota.
Mumet masalahnya jadinya.
Lalu Demo terjadi. Kemudian mereka diundang ke balaikota dan hasilnya adalah Geser dan kemudian bikin tenda penampungan. Semua senang. Masalah selesai. Anggap aja selesai. Berapa biayanya? Pasti banyak rupiahlah. Siapa yang nanggung? APBD pastinya karena pakai tender.
Ilustrasi diatas adalah yang saya bayangkan terjadi jika membaca pola dan cara memimpin para gubernur DKI Jakarta saat ini. Terus apakah cara Ahok benar dan cara Anies salah. Menurut saya dua-duanya benar karena tidak ada yang melakukan kejahatan. Tapi jika harus ada yang salah maka itu semua tergantung cara pandang kita. Jika kita berfikiran yang salah masuk penjara, berarti cara Ahok salah. Karena dia (lagi) di penjara. Tidak nyambung memang dengan kisah diatas. Namun sekarang ini logika sudah disimpan di lemari es. Mereka beku disana.