Ketika awal-awal Work From Home (WFH) diberlakukan, Anita girang bukan kepalang. Hidupnya bisa jadi lebih fleksibel dan produktif, anggapnya ketika itu. Apalagi ia bisa menghemat waktu perjalanan rumah-kantor yang bisa mencapai 1,5 jam.
Anita pun menjalani masa-masa awal WFH-nya dengan semangat. Pikirnya, tanpa ada atasan yang memantau secara langsung, ia bisa bebas berkegiatan asalkan pekerjaan sudah selesai. Daftar film pun sudah ia siapkan untuk ditonton secara terus-terusan (marathon).
Akan tetapi semua itu berubah ketika Ramadan datang. Jam biologis Anita mendadak berubah karena harus bangun sahur mulai jam 3 pagi. Padahal malamnya ia terbiasa tidur larut mendekati detik bergantinya hari.
Waktu sehabis sholat Subuh yang biasa dimanfaatkan kebanyakan orang untuk tidur lagi pun tidak bisa ia gunakan. Anita trauma. Hari selasa lalu, ia bablas ketiduran hingga melewatkan agenda rapat penting pada jam 8 pagi. Tak ayal sang atasan menghadiahkannya teguran kedisiplinan.
Belum lagi beban kerja yang tiba-tiba meningkat selama Ramadan. Maklum saja, kantor tempat Anita bekerja bergerak di bidang ritel sehingga pergerakan arus barang saat Ramadan memang sedang tinggi-tingginya.
WFH yang mulanya dibangga-banggakan kini perlahan berubah menjadi memuakkan. Alih-alih ingin bisa memiliki waktu lebih di luar pekerjaan, justru semakin banyak waktu hariannya yang tersita oleh pekerjaan dan urusan rumah tangga selama Ramadan.
Waktu paginya sudah disita oleh kesibukan menyiapkan makanan sahur untuk sekeluarga. Selepas subuh, giliran mencuci dan membersihkan rumah sekedarnya. Lewat sholat asar, sudah tidak fokus bekerja karena sibuk mempersiapkan menu berbuka. Setelah tarawih, tentu saja badan sudah letih.
Satu per satu, pekerjaan-pekerjaan Anita mulai gagal terselesaikan sebelum tenggat waktunya. Belum selesai tugas yang satu, sudah datang lagi tugas berikutnya yang tak kalah banyak dan butuh dikumpulkan cepat. Semua jadi menumpuk hingga Anita kebingungan harus mendahulukan pengerjaan yang mana.
Pada masa seperti inilah Anita merindukan masa-masa bekerja di kantornya. Anita merindu canda tawa yang kerap dilontarkan oleh rekan-rekannya di sela-sela waktu kerja. Candaan yang sederhana, namun bisa membuat kita tersemangati karenanya.
Kondisi yang dialami oleh Anita dapat diistilahkan dengan kondisi WFH Burnout. Menurut Harvard Business Review, kondisi ini muncul sebagai bentuk risiko akibat hilangnya sekat antara waktu kerja dan waktu non-kerja.
Kehidupan profesional dan personal yang selama ini sudah terpisahkan akibat tempat kerja, tiba-tiba harus membaur kembali tanpa adanya batas yang jelas.