Lihat ke Halaman Asli

Pajak Emisi Sri Mulyani Sudah Bagus, tapi...

Diperbarui: 27 Februari 2020   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Dalam rapat kerjanya bersama Komisi IX DPR RI (19/2), Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali mengangkat wacana terkait pajak emisi kendaraan bermotor. Tak pelak, wacana ini kembali terangkat ke permukaan dan mengundang reaksi dari banyak pihak.

Mereka yang pro menyatakan bahwa langkah tersebut adalah pengamalan peribahasa: sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Emisi CO2 yang dilepaskan ke lingkungan dapat berkurang sekaligus menambah pundi-pundi pemasukan negara.

Golongan yang pro ini juga mendorong kebijakan sang Menteri untuk meningkatkan penetrasi kendaraan listrik di Indonesia. Mengimplementasikan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) nomor 7 (Affordable and Clean Energy), kata mereka.

Sementara itu mereka yang kontra menilai bahwa langkah tersebut rentan mematikan industri otomotif dalam negeri. Dalam arti, sudah pertumbuhan industrinya terseok-seok, masih harus dibebani lagi karena pajak ini dikenakan lewat mekanisme cukai.

Mekanisme cukai berarti pembatasan peredaran suatu barang dengan cara menerapkan biaya tambahan sebelum barang tersebut memasuki pasar. Dalam kasus ini, berarti produsen kendaraan bermotor beremisi harus membayar lebih sebelum kendaraannya keluar dari pabrik atau pun pelabuhan.

Kelompok yang kontra ini menilai gagasan Sri Mulyani sebetulnya sudah diakomodir lewat Pajak Penjualan Barang atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor. Sehingga Menkeu dinilai tidak perlu lagi menambah pos pajak baru yang dapat memperbanyak pintu birokrasi.

Adapun secara umum penulis menilai kalau gagasan Sri Mulyani dalam kasus ini merupakan suatu kemajuan besar. Dengan kata lain, penerapan pajak emisi atas kendaraan bermotor dapat membuka peluang munculnya pajak atas emisi-emisi yang lain.

Contohnya adalah emisi yang dihasilkan oleh industri. Emisi ini dapat menyumbang hingga 12% dari total gas rumah kaca yang dihasilkan oleh Indonesia dalam setahun. Nilai pajaknya? Belum ada.

Wacananya sendiri memang sudah digagas oleh pemerintah sejak 2018 silam. Tapi kemajuannya belum terlihat di media-media. Penulis pun ragu kalau rancangan undang-undang omnibus law yang muncul sudah memerhatikan masalah ini.

Karenanya, kebijakan yang hendak diambil oleh Sri Mulyani adalah hal yang bagus. Pasalnya bila kebijakan ini berhasil disetujui oleh DPR, kebijakan-kebijakan hijau lainnya sudah pasti ikut mendapat perhatian dari para elit di Senayan.

Masalahnya, penulis juga melihat kalau rencana Menkeu ini masih terbilang cukup prematur. Latar belakangnya masih jauh dari kata kokoh. Alih-alih ingin terlihat berpihak kepada lingkungan, kebijakan ini justru lebih terlihat sebagai strategi meningkatkan pendapatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline