Kekisruhan di Natuna memang berawal dari masuknya kapal-kapal Coast Guard ke perairan Natuna yang membersamai kapal nelayan Cina untuk menangkap ikan. Namun jika kita hendak bersikap lebih jujur, pangkal permasalahannya justru datang dari negara kita sendiri.
Statistik mencatat, Indonesia baru dapat memanfaatkan 46% dari keseluruhan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan di Natuna pada tahun 2014. Hal ini berarti bahwa lebih dari setengah potensi belum termanfaatkan dengan baik oleh Indonesia di Natuna.
Sementara pada saat yang bersamaan, Cina mulai kewalahan dalam memenuhi kebutuhan ikan di dalam negerinya sendiri. Maka wajarlah mereka mencari sumber tangkapan baru di bawah garis batas Laut Cina Selatan.
Karenanya, dalam kasus Natuna hari ini, Indonesia belum memiliki posisi tawar yang cukup mengenakan. Klaim geografis tentu saja boleh dilakukan. Tetapi jika minim pemanfaatan, pasar pun tahu harus berpihak kepada siapa.
Oleh karena itu, satu-satunya cara meningkatkan posisi tawar Indonesia di Natuna adalah dengan menggencarkan pemanfaatan, mulai dari ikan. Pemerintah perlu membuka izin kepada kapal-kapal bertonase lebih besar untuk dapat melakukan penangkapan.
Sudah rahasia umum pula kalau beberapa pengusaha kapal enggan mengurus izin karena tidak ingin dikenakan biaya pajak dari hasil tangkapan. Di sinilah pemerintah perlu mengirimkan negosiator ulung agar tak kalah dengan para pengemplang pajak.
Tetapi Natuna bukan hanya tentang ikan. Perairan yang terbentang dari Kepulauan Natuna hingga ke Kepulauan Lingga itu justru memiliki banyak permata yang tidak kalah menariknya.
Permata pertama bernama gas alam. Total volumenya dapat mencapai 222 TCF (trillion cubic feet) dan baru 46 TCF diantaranya yang sudah dimanfaatkan sebagai sumber hidrokarbon. Jumlah ini hampir setengah kalinya cadangan gas alam Canada pada tahun 1992 sebesar 97 TCF.
Perhitungan potensi dari cadangan gas alam di Natuna ini pernah diselenggarakan pada tahun 2001 oleh Pertamina EP bekerja sama dengan Universitas Oxford.
Hasilnya, penerapan teknologi gas-to-liquid (GTL) dan dry reforming di Natuna saja sudah dapat mencukupi kebutuhan bahan bakar cair Indonesia untuk 18 tahun ke depan! Hanya dari Natuna.
Itu baru permata pertama. Mari lanjutkan ke permata kedua.