Lihat ke Halaman Asli

Mau Masuk Surga, Kok Direncanakan?

Diperbarui: 24 Desember 2019   23:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi merencanakan (Sumber: Pexels/Startup Stock Photos)

"By failing to prepare, you are preparing to fail"

Sebuah kutipan yang begitu legendaris. Sebagian besar percaya kalau kutipan ini milik Benjamin Franklin. Tetapi sebagian lainnya sampai mau repot menyodorkan beragam bukti demi membantah argumen tersebut.

Entah siapa yang benar. Yang jelas, siapa pun yang terbukti benar itu tetap tidak akan lebih penting jika gagal menyerap makna penting dibalik kutipan sederhana itu.

Semua hal memang butuh perencanaan. Utamanya, jika hal tersebut menyangkut urusan besar. Seperti meneruskan pendidikan, terjun ke dunia wirausaha, membentuk keluarga, atau bahkan memindahkan ibukota negara.

Bagi umat beragama, urusan bagaimana supaya bisa masuk surga pun juga termasuk urusan besar. Karenanya, ia perlu direncanakan sedari dini. Ingin masuk surga dengan cara apa? Bagaimana tahapan-tahapan agar bisa memasukinya? Ingin masuknya lewat pintu yang mana? Dan seterusnya.

Terkhusus bagi umat Islam, urusan masuk surga itu memang gampang-gampang susah. Gampang karena informasinya bertebaran dimana-mana. Toh, ustadz kini juga sudah ada hampir di seluruh media. Namun menjalankannya tetap saja susah karena dibutuhkan istiqomah didalamnya.

Di antara cara bagi seorang muslim agar bisa memperbesar peluang memasuki surga adalah dengan menggenapkan rukun Islam. Mulai dari syahadat, sholat, puasa, zakat, juga haji. Kelima hal ini perlu dipersiapkan dengan matang dan tidak boleh dianggap sepele pelaksanaannya.

Urusan syahadat, tentu saja semua muslim sudah melaluinya. Tapi syahadat itu butuh pembuktian. Karenanya, memperbarui pemahaman terkait syahadat dan mengimplementasikannya kedalam amalan harian menjadi hal yang perlu dilakukan sepanjang hayat.

Sholat, puasa, zakat, ketiganya merupakan ibadah ritual yang dilaksanakan dengan frekuensi yang telah ditetapkan. Ibadah yang berulang-ulang ini memang rentan membuat kita jengah mengambil makna dari setiap pelaksanaannya. Oleh karena itu, pendalaman akan fiqh dan implementasinya dalam kehidupan juga tak boleh ditinggalkan.

Lantas bagaimanakah dengan haji? Bukankah haji merupakan satu-satunya rukun Islam yang tersematkan syarat "jika mampu"? Jadi, kalau kita tak kunjung mampu, berarti tidak perlu menunaikan haji, begitu?

Tentu saja tidak. Pasalnya kalau tidak direncanakan mampu, pasti tidak akan bisa mampu. Karena seiring waktu, ada saja kebutuhan yang harus kita penuhi. Entah untuk sekolah anak, mencicil rumah, membeli kendaraan baru, dan sebagainya. Akan selalu begitu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline