Lihat ke Halaman Asli

Arief Hakim

Peneliti independen

Menggapai Kaldera Gunung Raung (3332 M dpl) Sebuah Catatan Perjalanan

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_147153" align="alignleft" width="300" caption="Gunung Raung tampak dari pesanggrahan PEMKAB Bondowoso, Sumberwringin"][/caption]

Pendakian Gunung Raung

Sebuah Catatan Perjalan

Gunung Raung (3332 m dpl), yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, menyediakan tantangan tersendiri bagi para pendaki gunung. Tidak adanya sumber air di sepanjang jalur pendakian, jalur yang panjang dan akses yang sulit merupakan alasan mengapa gunung ini hanya didaki pada musim-musim pendakian saja (Juli – September). Tapi bagi kami, semua hal diatas justru menjadi alasan mengapa kami menjadikan gunung ini target pendakian berikutnya. Maklumlah jiwa muda kami haus akan tantangan, ditambah lagi sudah lebih satu bulan kami tidak melakukan pendakian. Paru-paru kami sudah bosan dengan udara kotor Kota Malang, saatnya untuk dicuci dengan murninya udara pegunungan.

Gunungapi jenis komposit tipe A ini masuk ke dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kab. Bondowoso, Kab. Jember dan Kab. Banyuwangi. Gunung berapi tipe A merupakan gunung berapi yang tercatat pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-kurangnya satu kali sesudah tahun 1600. Ada dua jalur yang lazim digunakan pendaki untuk menggapai puncak, yakni lewat sisi utara yang termasuk ke dalam wilayah Kab. Bondowoso serta sisi barat daya melalui Kab. Jember.

Kami berlima yang tergabung dalam MPA Jonggring Salaka Universitas Negeri Malang, akan mencoba mendaki lewat jalur utara yang memang menjadi jalur favorit para pendaki. Hal ini penting bagi kami, karena tidak ada seorangpun dari kami yang pernah mendaki gunung ini. Sadar akan risiko yang akan terjadi apabila kami memilih jalur yang kurang jelas, memaksa kami untuk memendam sementara keinginan untuk mencoba mendaki lewat jalur yang lebih menantang, jalur selatan.

Halaman Belakang Kantor PLN

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 5 jam dari Malang, akhirnya bus yang kami tumpangi tiba di terminal Kota Situbondo. Suara azan yang menandakan masuknya waktu sholat isya mengiringi langkah gontai kelima mahasiswa asal Malang turun dari bus. Dari kondektur bus, kami mendapat informasi untuk mencapai Kota Bondowoso kami bisa menggunakan mini bus yang melayani trayek Situbondo – Bondowoso. Tujuan kami sebenarnya bukanlah Kota Bondowoso, melainkan pertigaan menuju kota kecamatan Sumberwringin yang kami belum tahu namanya. Dengan sedikit menebalkan muka, akhirnya kami memperoleh informasi bahwa untuk mencapai Sumberwringin, kami harus menggunakan mini bus dan turun di pertigaan Gardu Atak lalu dilanjutkan dengan angkutan pedesaan menuju Sumberwringin. Kami memutuskan untuk menjadikan Gardu Atak target perjalanan hari ini. Untuk mencapai Sumberwringin sudah tidak mungkin lagi karena angkutan yang menuju kesana hanya ada sampai jam 5 sore

Waktu sudah menunjukkan pukul 21:00 ketika kondektur mini bus menyuruh kami untuk bersiap-siap, kerena sebentar lagi kami akan tiba di Gardu Atak. Kurang dari satu jam waktu yang diperlukan untuk mencapai Gardu Atak. Sebelumnya kami telah membuat heboh seisi bus, saat memberi tahu tujuan kami kepada sekelompok ibu-ibu, mereka langsung menyarankan untuk lebih baik menginap di terminal karena daerah tujuan kami terkenal rawan tindakan kriminal. Bahkan seorang ibu menawarkan untuk menginap di rumahnya. Mulanya hanya kelompok ibu-ibu yang ”sangat peduli” kepada kami, tetapi tampaknya kelompok bapak-bapak yang duduk dibelakang tidak tahan untuk tidak ikut peduli dengan kami.

Malam itu kami beristirahat di kantor PLN Gardu Atak, sebenarnya kami ditawari untuk menginap di dalam kantor, tetapi halaman belakang kantor sudah cukup bagi kami. Matras digelar, dengan dipayungi flysheet ala kadarnya kami pun bersiap untuk makan malam lalu tidur. Langit malam itu bermurah hati untuk menampakkan bintang-bintangnya. Suatu pemandangan yang mustahil didapatkan di Kota Malang yang memiliki polusi cahaya tinggi.

[caption id="attachment_147160" align="alignleft" width="300" caption=" 4 cowok, 1 Cewek"][/caption] Memulai Pendakian

Belum lagi matahari menghangatkan bumi, kami sudah memulai aktivitas. Kami memang berencana sepagi mungkin untuk melanjutkan perjalanan ke Sumberwringin. Sebagian anggota kelompok memasak untuk keperluan sarapan dan makan siang, sementara yang lain masih nyenyak dalam bungkusan slepping bag.

Setelah berpamitan dan mengucapkan terimakasih kepada petugas PLN karena telah mengizinkan kami menginap, kami melanjutkan perjalanan menuju Sumberwringin . Menggunakan angkutan warna biru, kami menyusuri jalanan pedesaan yang menyuguhkan pemandangan khasnya, tampak di kejauhan Gunung Raung berdiri dengan gagahnya. Letusan yang hebat telah ”memotong” puncaknya dan menciptakan kaldera yang sangat luas. Kantung magma yang terkuras selama periode letusan menciptakan rongga kosong yang tidak mampu menahan beban material diatasnya. Sehingga bagian puncaknya kolaps dan menciptakan sebuah cekungan besar. Hal yang sama terjadi pada proses penciptaan kaldera Tengger dan Tambora.

Angkutan kami berhenti tepat di halaman pesanggrahan milik pemerintah daerah Kab. Bondowoso. Bangunan dengan arsitektur kolonial ini menjadi tempat lapor bagi para pendaki. Sedikit informasi kami dapatkan dari petugas untuk menambah bekal perjalan kami tiga hari ke depan. Seperti biasa, selalu ada cerita berbumbu misteri yang akan kita dapatkan ketika menanyai penduduk lokal.

Jalanan berbatu menjadi suguhan awal pendakian kali ini, kondisi jalan seperti ini sangat menyiksa kaki. Waktu telah menunjukkan pukul 12:00 ketika kami berhasil mencapai Pondok Montor yang merupakan pos pertama. Tiga jam waktu yang kami butuhkan untuk mencapai check point pertama yangberada di tengah-tengah hutan pinus milik Perhutani, sebelumnya kami berhenti di perumahan penyadap getah pinus untuk mengambil air yang akan menghidupi kami selama tiga hari kedepan. Inilah handicap yang ditawarkan oleh pendakian melewati jalur ini, sepanjang jalur pendakian tidak terdapat sumber air yang bisa dimanfaatkan. Tidak ada pondok atau sejenisnya pada pos ini, begitu pula pada pos-pos berikutnya walaupun terdapat kata “pondok” di setiap nama pos yang akan kami lewati nanti.

Serangan nyamuk memaksa kami untuk segera melanjutkan perjalan menyusuri tegakan pohon pinus yang di manfaatkan getahnya ini. Sampai pada pinggiran hutan pinus yang berbatasan dengan ladang penduduk, kami kebingungan menentukan jalur yang akan kami lewati. Penduduk yang kami tanyai tidak banyak membantu karena tidak seorangpun dari kami mengerti bahasa penduduk setempat yang didominasi etnis Madura. Hanya satu fragmen kalimat yang kami tangkap samar-samar, yakni ”benyak plang” yang artinya banyak plang penunjuk arah. Setelah bersusah payah akhirnya kami berhasil menemukan jalur yang benar. Tidak banyak penunjuk arah yang membimbing kami untuk menemukan jalur pendakian seperti dinformasikan penggarap ladang yang kami temui sebelumnya. Mungkin yang dimaksud bapak petani tadi adalah plang di setiap pos pendakian. Di setiap persimpangan jalur, kami menurunkan sukarelawan untuk memeriksa jalur hingga menemukan jalur yang tepat. Begitulah cara kami mesiasati ketidaktahuan kami akan jalur pendakian.

Jalur pendakian semakin jelas ketika kami berhasil keluar dari ladang, dimana sebelumnya kami menikmati makan siang disana. Pendakian mulai memasuki kawasan hutan yang lebat. Kanopi yang terbentuk dari tajuk pepohonan mengurangi intensitas matahari yang masuk sehingga tipis sekali perbedaan antara siang dan sore. Disepanjang jalur ini kami menyaksikan pemandangan yang mengiris hati, hutan disini ternyata bernasib sama dengan kebanyakan hutan di negeri ini. Sisa-sisa pembalakan liar dapat dengan jelas kita saksikan di sepanjang jalur pendakian. Dari sisa-sisa tebangan pohon nampak bahwa peralatan untuk menebang masih tradisional. Kemungkinan kayu yang diambil hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar. Ancaman lain yang berpotensi mengurangi tutupan hutan di lereng utara gunung ini adalah perluasan ladang penduduk seiring bertambahnya kebutuhan mereka akan lahan pertanian. Secara keseluruhan hutan di sini masih cukup lebat walau nampak ada enclave di sepanjang jalur sisa pembalakan. Lebatnya hutan mengingatkan saya akan jalur pendakian ke Gunung Argopuro via Bremi sebelum kita tiba di Danau Taman Hidup.

Tidak mudah mendaki dengan beban berat di punggung kami. Hampir setiap anggota membawa air sebanyak 10 liter, kecuali satu-satunya anggota wanita yang kami manjakan dengan hanya membawa perlengkapan pribadinya dan sedikit air minum. Keadaan hutan semakin gelap, sedangkan kami belum tiba di Pondok Sumur yang menjadi target perjalanan hari ini. Di tempat yang agak lapang kami pun terpaksa mendirikan bivak tempat kami beristirahat. Mendaki malam hari tentu bukan pilihan yang bijak, mengingat tak seorang pun dari kami yang mengerti kondisi jalur, selain itu kondisi fisik kami juga semakin menurun setelah mendaki lebih kurang 8 jam.

Beberapa Menit dari Pondok Sumur

Embun di rerumputan belum lagi mengering ketika kami memulai pendakian. Target pendakian kami kali ini adalah Pondok Angin yang menjadi camp terakhir sebelum summit attack. Beberapa menit mendaki, kami sampai pada tempat lapang dimana pada sebuah pohon terdapat plang bertuliskan ”Pondok Sumur”. Rupanya target pendakian hari sebelumnya hanya beberapa menit dari camp site kami malam tadi. Sejenak beristirahat dan mendokumentasikan Pondok Sumur kamipun melanjutkan pendakian. Seiring bertambahnya elevasi, vegetasipun mulai berubah, cemara gunung (Casuarina junghuhniana) mulai mendominasi tegakan di punggungan maupun di lembah.

Cuaca yang cerah dan posisi kami yang berada di punggungan sangat membantu kami melakukan orientasi medan. Setelah melewati Pondok Tonyok dan Pondok Demit pemandangan semakin terbuka. Di Pondok Demit kami beristirahat sambil menikmati makan siang yang telah disiapkan pagi tadi sekaligus menyimpan sebagian perbekalan kami untuk meringankan beban pendakian. Nampak di kejauhan lereng tanpa vegetasi yang menandakan semakin dekatnya kami dengan bagian puncak Gunung. Raung. Menyaksikan pemandangan seperti itu menjadikan semangat kami semakin berlipat. Bagai mendapat pasokan tenaga baru, kamipun tancap gas untuk segera tiba di Pondok Angin.

Tepat pukul 3 sore kami tiba di Pondok Angin. Sesuai dengan namanya, angin yang bertiup di tempat ini cukup kencang ditambah lagi tempatnya yang sangat terbuka. Sempat terpikir untuk mendaki kepuncak hari itu juga mengingat kami masih memiliki tiga jam sebelum matahari terbenam, tapi akhirnya rencana itu kami batalkan.

[caption id="attachment_147168" align="alignleft" width="300" caption="Camp kami di Pondok Angin"][/caption] Lembayung senja mengantarkan matahari kembali ke peraduannya, sungguh pemandangan yang memesona kami berlima. Pemandangan yang menyadarkan betapa besarnya karunia yang tak henti-henti diberikan oleh Sang Pencipta.

Malam itu kami disuguhi pemandangan yang luar biasa, langit sangat bermurah hati memperlihatkan bintang-bintangya. Sesekali meteorid melintas, menambah semaraknya pemandangan malam itu. Tampak di kejauhan, kerlap-kerlip manja dari cahaya lampu Kota Bondowoso serta Situbondo menjadikan malam itu malam terindah dari sekian ribu malam yang telah kami lewati. Setelah menikmati makan malam dan sedikit berkordinasi untuk pendakian besok, kamipun terlelap.

Gelap dan Kosong

Alarm membangunkan kami berlima, sedikit malas kami keluar dari bungkusan sleeping bag. Jam menunjukkan pukul 02:30 dini hari, malam ini kami akan melakukan summit attack atau mendaki ke puncak. Sebenarnya istilah summit attack kurang tepat bagi kami, karena kami hanya akan medaki hingga bibir kaldera. Sedangkan untuk mencapai puncak sejati (3332 m dpl) kita harus mendaki sisi selatan melalui jalur Glenmore atau Kalibaru

Sebuah daypack telah terisi penuh oleh perbekalan kami untuk mendaki, sambil menyeruput teh panas kami melakukan sedikit kordinasi. Cuaca sangat bersahabat malam itu, langit ditaburi ribuan bintang dan meteorid semakin sering melintas. Semoga saja cuaca terus seperti ini batin kami.

Jam menunjukkan tepat pukul 3 dini hari ketika kami mulai melangkahkan kaki. Dengan langkah penuh semangat kami mulai menambah ketinggian. Hingga akhirnya kami berhenti di batas vegetasi untuk memberikan penghormatan kepada Deden Hidayat yang tewas setelah terjatuh ke dalam kaldera pada tahun 1992. Untuk mengenang kepergiannya, dibangunlah prasasti memorial sedikit di atas batas vegetasi.

[caption id="attachment_147172" align="alignright" width="300" caption="Summit Attack"][/caption]

Pendakian kami lanjutkan dengan menapaki punggungan yang hanya menyisakan beberapa centimeter untuk pijakan kaki. Jalur semakin ekstrem, hingga di beberapa bagian kami harus menggunakan pantat untuk berjalan alias ngesot. Disaksikan edelweiss yang nampak malu-malu mengintip perjuangan kami dari balik punggungan. Elevasi pun semakin bertambah.

Hampir dua jam kami berjuang, hingga akhirnya di depan kami hanya gelap yang ada, gelap yang tak biasa, kosong ...... tak ada apapun di depan kami, cahaya ­headlamp yang setia menerangi kami tak mampu memberikan jawaban. Ada apa sebenarnya di depan kami................? Beberapa meter kami melangkah, terjawablah semua pertanyaan yang sedari tadi berkecamuk di dalam kepala.

Di depan kami samar tersaji pemandangan luar biasa, pemandangan yang membuat setiap pendaki ingin kembali mendaki Gunung Raung. Semua lelah dan penat hilang tak berbekas. Sungguh pemandangan yang luar biasa. Letusan maha dahsyat menciptakan kaldera yang sangat luas dan dalam. Tidak kurang dari 2 kilometer diameter yang tercipta akibat letusan tersebut. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari lisan kami, semua sibuk mengagumi lukisan alam yang tersaji di depan mata. Untunglah insting kami tadi mengatakan untuk berhenti sebentar ketika menyadari ada keanehan ketika cahaya headlamp tidak merefleksi pada suatu benda pun. Ternyata hanya beberapa meter di depan kami ada kaldera yang dalamnya ratusan meter siap menelan kelima pendaki dari Malang ini.

Matahari mulai menghangatkan bumi, terbit dari balik lautan awan putih bersih layaknya kapas yang beterbangan, kontras sekali dengan warna biru langit. Tampak di belakang kami garis pantai utara jawa dan G. Suket serta G. Merapi berdiri dengan gagahnya. Pemandangan ke dalam kawah semakin jelas seiring meningginya sang mentari. Tampak di dasar kawah dua buah kerucut kecil mengeluarkan asap solfatara yang pekat. Suatu saat tekanan yang ada di dalam dapur magma akan dilepaskan melalui kerucut ini.

[caption id="attachment_147170" align="alignleft" width="300" caption="Kaldera Gunung Raung"][/caption]

Kabut tipis yang menggantung di dalam kawah takmampu menutupi keindahan mahakarya Sang Pencipta ini. Mahakarya yang menyadarkan betapa kecilnya manusia. Bahwa kita adalah yang diciptakan dan Dia Sang pencipta.

Terbesit pertanyan di benak kami, kapan kami diberi kesempatan lagi untuk menapaki lereng-lereng terjal ini? Bilakah kami bisa menembus lagi lebatnya rimba belantara yang semakin jarang ditemui? Sampai kapankah hamparan hijau di bawah sana bisa bertahan? Semoga masih ada kesempetan anak cucu kami mengaguminya. Hkm.

[caption id="attachment_147175" align="alignright" width="300" caption="Turun Pun Tidak Lebih Mudah"][/caption]

Arief Abdurrahman Hakim

Adi Arief Wibowo

Fardha Hidayat

Harta Mardiyanto

Ruqoiyah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline