Lihat ke Halaman Asli

Arief Hakim

Peneliti independen

Mereka bertaruh nyawa di Kawah Ijen

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_313365" align="aligncenter" width="480" caption="Komplek gunung berapi Ijen"][/caption]

Judul di atas mungkin terkesan berlebihan atau mungkin sebuah “pengetahuan umum” yang mewakili cerita kerasnya kehidupan  penambang belerang di Kawah Ijen. Sebenarnya judul tersebut hanya mencoba mewakili kisah perjalanan sekelompok mahasiswa (dan juga mahasiswi, selanjutnya cukup menggunakan mahasiswa) PPS Geografi UGM ke Kawah Ijen yang kebetulan agak menyerempet maut.

Sehari setelah tenggat waktu pengumpulan tugas-tugas kuliah berakhir, mereka yang telah mengantongi tiket KA Sri Tanjung tujuan Banyuwangi sepagi itu telah berkumpul di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Harga yang harus dibayarkan untuk sebuah tiket Yogyakarta – Banyuwangi hanya Rp 95.000/penumpang. Berangkat dari kos/kontrakan/rumah masing-masing, total rombongan mereka berjumlah 11 orang, 4 mahasiswa dan 7 mahasiswi J.

Sesuai jadwal, pukul 07:45, KA Sri Tanjung mulai menyusuri rel jalur ganda yang mengarah ke utara. Rombongan mereka duduk rapi di atas kursi gerbong ke-6, dari 7 rangkaian gerbong penumpang. Duduk di rangkaian yang agak belakang memberikan keuntungan bagi mereka, bisingnya suara lokomotif diesel tidak terlalu terdengar ke dalam kabin yang seluruh jendelanya wajib ditutup. Pelayanan kereta ekonomi sudah sangat manusiawi sejak BUMN ini dipimpin oleh Pak Ignasius Jonan. Tidak ada lagi penumpang berdiri (kecuali untuk kereta komuter), seluruh gerbong wajib ber-AC, air di toilet (kadang) selalu tersedia, asongan dan pengamen pada wilayah tertentu tidak diperkenankan masuk, intinya sudah sangat memanusiakan penumpang.

Rel jalur ganda berakhir ketika rangkai KA Sri Tanjung melewati stasiun Solo Jebres, perjalanan mereka berikutnya akan sedikit melambat karena sering berhenti di stasiun untuk memberi kesempatan kereta sombong (demikian salah satu dari mereka menyebut kereta kelas eksekutif) menggunakan rel yang hanya satu jalur itu. Setelah 5 jam perjalanan, KA Sri Tanjung mulai memasuki Stasiun Gubeng di Surabaya, Jawa Timur. Di stasiun ini, lokomotif dipindahkan sehingga akan menempel di gerbong ke-7. Istilah yang umum digunakan untuk menyebut proses tersebut adalah “langsir”. Arah datang kereta di Surabaya menghadap ke utara, sedangkan tujuan kereta ini adalah ke arah selatan lalu ke timur, mengingat tidak ada putar balik (U turn) di rel kereta api, maka lokomotif harus dipindah. Proses langsir yang hanya 15 menit dimanfaatkan mereka untuk menyerbu mushola demi menunaikan kewajiban sholat.

[caption id="attachment_313360" align="aligncenter" width="480" caption="Di dalam KA. Sri Tanjung"][/caption] Perjalanan masih berlanjut, stasiun-stasiun besar di depan menanti mereka untuk disinggahi, St. Sidoarjo, St. Bangil, St. Pasuruan, St. Klakah, St. Jember, hingga berakhir di St. Banyuwangi Baru. Kali ini suara lokomotif diesel akan menemani mereka sepanjang sisa perjalanan. Gerbong ke-6 yang pada perjalanan Yogyakarta – Surabaya berada agak ”terbelakang”, kini hanya dipisahkan 2 gerbong dari lokomotif. Canda tawa dan ejekan dari mereka dan untuk mereka yang menghiasi (mungkin lebih tepatnya membuat gaduh) gerbong ke-6 mulai berkurang seiring meredupnya cahaya matahari. Saat itu kereta memasuki St. Jember di Kabupaten Jember, 10 jam sudah perjalanan yang mereka tempuh. Kereta yang mereka tumpangi dijadwalkan tiba di St. Banyuwangi Baru pukul 20:40, biasanya kereta tiba terlambat dari jadwal yang direncanakan. [caption id="attachment_313372" align="aligncenter" width="480" caption="Tiba di Stasiun Karangasem, Kabupaten Banyuwangi"][/caption] Bukan St. Banyuwangi Baru yang menjadi pemberhentian mereka, melainkan St. Karangasem yang lebih dekat dengan kota Banyuwangi. Di stasiun kecil nan rapi inilah mereka turun, sementara KA Sri Tanjung melanjutkan perjalanan ke St. Banyuwangi Baru. Sesuai rencana, malam itu mereka akan bermalam di sana sebelum melanjutkan perjalan sepagi mungkin menuju Pal Tuding, titik awal pendakian ke Kawah Ijen.  Tidak jelas dimana mereka tepatnya akan bermalam hingga salah seorang dari mereka berinisiatif meminta ijin pada kepala stasiun untuk bermalam di selasar stasiun. Perkara tempat bermalam telah mereka bereskan, saatnya memenuhi hak perut. Sebuah warung sederhana di depan stasiun menjadi tempat favorit mereka untuk menentramkan perut. Warung Bu Saleh namanya, warung ini sangat terrekomendasi, menu yang sederhana namun cukup nikmat, harga sangat murah, bersih, dan sudah mulai buka pukul 04:00 hingga tutup pukul 22:00. Hanya di warung inilah mereka memilih untuk membeli makan ketika berada di sekitaran St. Karangasem.

Pukul 5:30, tumpukan tas aneka ukuran telah menempati atap sebuah angkot kuning. Angkot yang telah mereka pesan malam sebelumnya itu akan mengantarkan mereka ke kantor perusahaan penambangan belerang PT. Candi Ngrimbi di Desa Tamansari Kecamatan Licin. Ongkos perorangnya Rp. 20.000,-, sebuah harga yang cukup mahal. Pada perjalanan turun, mereka berhasil memangkas ongkos angkot tersebut menjadi Rp. 15.000/orang, masih tetap mahal memang, tapi mengingat trayek tersebut sudah tidak dilayani secara reguler akibat minimnya penumpang, harga tersebut masih cukup pantas.

Moda transportasi selanjutnya adalah truk pengangkut belerang yang setia naik turun dari Licin ke Pal Tuding untuk mengangkut penambang beserta belerang hasil tambangnya. Sekitar pukul 07:30, truk yang sudah dipenuhi penambang, ibu-ibu yang akan berjualan di Pal Tuding, dan tidak lupa 11 orang dari Yogyakarta, mulai menapaki jalanan menanjak. Sesekali truk berhenti untuk memuat penambang yang menunggu di pinggir jalan, semakin penuh saja itu truk. Sangat beruntung bagi mereka, karena jalanan menuju Pal Tuding telah diaspal mulus oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Andai saja mereka datang 3 tahun yang lalu, tentu berdiri 2 jam di atas truk yang melibas jalanan berbatu akan sangat menyiksa. Sopir truk tidak mematok ongkos untuk pendaki yang akan menuju Pal Tuding. Rp. 5.000/orang adalah harga yang direkomendasikan di banyak travel blog. Kala itu mereka harus membayar Rp. 10.000/orang untuk naik ke Pal Tuding, ongkos tersebut diminta oleh salah seorang penambang yang mengkoordinir pembayaran di atas truk. Apes…seandainya mereka langsung membayar ke sopir truk, mungkin hanya akan membayar separuhnya. Itulah yang mereka lakukan kelak saat turun dari Pal Tuding.

[caption id="attachment_313373" align="aligncenter" width="480" caption="Truk pengangkut belerang yang mereka tumpangi untuk menuju Pal Tuding"][/caption] Pukul 9:30, keadaan Pal Tuding sedikit berkabut ketika satu persatu dari mereka meloncat turun dari bak truk. Truk berhenti di pos penimbangan dan muat belerang yang berjarak 100 meter dari pos perijinan pendakian Kawah Ijen. Setelah mengurus perijinan, mereka bersantai sejenak sambil mencari tempat ideal untuk mendirikan 3 buah tenda berkapasitas 4 orang. Tiket masuk kawasan yang bernama lengkap Taman Wisata Alam Kawah Ijen sangat murah, hanya Rp. 2.000,-/orang ditambah biaya pengambilan gambar Rp. 3.000,-.

Pada tengah hari yang berkabut, tiga buah tenda berwarna kuning telah berdiri gagah  di camping ground Pal Tuding. Masih banyak waktu tersisa sebelum pendakian yang akan mereka mulai pukul 01:00 esok harinya. Aneka kegiatan pun dilakukan untuk mengisi waktu luang, dan yang terpenting adalah makan. Perjalanan mereka memang didesain untuk tidak lepas dari warung, karena itulah mereka hanya membawa makanan ringan dan aneka minuman serta satu buah kompor lapangan. Ada satu warung di Pal Tuding yang sangat populer dan banyak direkomendasikan di travel blog, yakni Warung Bu Im yang buka 24 jam. Tapi mereka lebih memilih membeli makan di warung dekat pos penimbangan dan muat belerang, alasannya apalagi kalau bukan harga. Sayangnya warung tersebut hanya buka siang hari untuk memenuhi kebutuhan para penambang. Kegiatan lainnya adalah bebersih diri, air bersih tersedia di kamar mandi umum dekat pos perijinan. Air bersih kini tak lagi menjadi masalah, setelah pemerintah setempat mengalirkan air dari mata air yang terdapat di sekitar Pal Tuding.

[caption id="attachment_313376" align="aligncenter" width="480" caption="Tenda mereka di camping ground Pal Tuding"][/caption] Api unggun yang mereka buat sejak sore hari menghangatkan suasana malam sebelum pendakian. Langit pun bermurah hati untuk menampakkan ribuan bintangnya malam itu. Sangat beruntung bisa menyaksikan pemandangan tersebut mengingat musim hujan belum usai. Malam belum terlalu larut ketika satu persatu dari mereka mulai masuk ke dalam tenda yang telah menanti untuk diisi sejak siang. Istirahat singkat sebelum pendakian menjadi sangat berharga sebelum pengunjung melakukan pendakian Kawah Ijen pada dini hari.

Pendakian dini hari ke Kawah Ijen bukan untuk mengejar pemandangan matahari terbit di ufuk timur seperti layaknya mendaki gunung-gunung lainnya. Melainkan untuk menyaksikan fenomena api biru di tepian danau kawah. Fenomena tersebut hanya dapat disaksikan ketika hari gelap, sehingga pengunjung biasanya mendaki dini hari sebelum matahari terbit. Pengunjung dapat pula mendaki sore hari dan menyaksikan fenomena tersebut setelah matahari terbenam, namun hal ini jarang dilakukan. Skenario kedua ini memungkinkan pengunjung untuk mendapatkan bonus pemandangan matahari terbenam. Sedangkan skenario pertama tidak akan menyajikan pemandangan matahari terbit karena pandangan ke arah timur terhalang oleh kerucut gunung berapi Merapi yang masih satu komplek dengan Kawah Ijen.

Alarm mulai berbunyi pukul 01:00 namun tidak ada satu pun dari mereka mulai bersiap untuk pendakian. Setengah jam setelahnya barulah mereka mulai bangkit dan keluar dari bungkusan kantung tidur. Tampak di luar ada beberapa rombongan lain telah memulai pendakian, cukup ramai untuk ukuran hari Senin. Mereka diuntungkan dengan pemilihan hari pendakian tidak pada hari-hari libur. Akhirnya, tepat pukul 02:00 dini hari, mereka mulai mendaki meninggalkan tenda masing-masing dengan membawa bekal seperlunya. Jika tidak ada hambatan, tepian danau kawah akan mereka capai dalam waktu 3 jam. Jumlah waktu tersebut dua kali lipat dari waktu yang biasa ditempuh para penambang. Langkah kecil dan beberapa kali beristirahat membawa mereka menapaki jalur pendakian yang menanjak di 2/3 awal.

[caption id="attachment_313377" align="aligncenter" width="500" caption="Suasana malam mereka di camping ground Pal Tuding"][/caption]

Jalur pendakian lebih datar selepas Pondok Bunder, sebuah pondok tempat penimbangan belerang yang berjarak 1.5 jam pendakian dari Pal Tuding. Vegetasi mulai berkurang seiring semakin kuatnya aroma belerang. Semburat fajar pun telah nampak samar-samar di ufuk timur. Tak lama lagi mereka akan mencapai tepian kawah, namun perjalanan belum akan selesai di sana. Masih ada perjalanan menapaki dinding batuan menuju dasar kawah yang memakan waktu hampir 1 jam. Di sinilah kejadian yang menciutkan nyali mereka terjadi…

Permukaan danau kawah telah nampak walau hari masih gelap, kabut bercampur gas belerang semakin sering menyergap rombongan mereka. Masker berkali-kali harus dibasahi untuk memberi sensasi segar di rongga pernafasan. Suara gemuruh tiba-tiba terdengar dari arah danau kawah dan memaksa mereka menghentikan langkah, erupsi kah? Pasrah, hanya itu yang dapat mereka lakukan di dalam kawah gunung berapi berstatus waspada ini. Sebuah gunung berapi dengan status waspada harusnya steril dari aktifitas manusia dalam radius 2 km, namun hal itu tidak berlaku di sini. Mungkin alasan ekonomi masih lebih diutamakan oleh pengelola dan pemerintah daerah setempat, atau justru menjadi daya tarik lebih ketika adrenalin pengunjung berhasil dinaik-turunkan oleh geliat gunung tersebut.

Mereka belum beranjak dari posisi masing-masing ketika seorang penambang dengan santainya lewat sambil berucap riang “itu longsor mas, sudah biasa..”. Sempat terheran-heran dengan pernyataan penambang tersebut, mereka melanjutkan perjalanan yang tinggal beberapa ratus meter. Api biru pun telah jelas terlihat dengan lidah-lidahnya yang keluar dari lokasi penambangan belerang. Mungkin akan menjadi luar biasa bila longsoran tadi menimpa mereka atau para penambang. Belakangan mereka ketahui bahwa longsoran dinding kawah kerap terjadi di sisi seberang danau kawah, utamanya pada musim hujan saat itu.

Di sebuah tempat datar di atas titik lokasi penambangan, pandangan mereka dimanjakan dengan aktraski api biru yang berpijar keluar dari celah-celah bebatuan diiringi suara gemuruh. Pemandangan unik dan langka yang menurut literatur hanya ada di dua tempat di bumi kita. Hari yang mulai terang belum mampu mengalahkan cahaya api biru tersebut. Ada beberapa puluh menit bagi mereka untuk mengabadikan fenomena tersebut sebelum menghilang seiring kuatnya cahaya matahari. Puas mengabadikan fenomena tersebut bukan lantas membuat mereka segera beranjak meninggalkan lokasi tersebut, danau kawah seolah memanggil untuk sekedar diabadikan dengan kamera yang mereka bawa.

[caption id="attachment_313378" align="aligncenter" width="480" caption="Pijaran api berwarna biru"][/caption]

Seorang penambang belerang menyarankan mereka untuk berpindah ke tepi danau kawah karena lokasi mereka sebelumnya sering tersapu gas belerang. Benar saja, ketika bersiap untuk pulang, tiba-tiba arah angin mendadak bertiup ke arah mereka dan membawa gas belerang pekat yang menyesakkan. Udara mendadak panas dan nafas terasa berat, walaupun masker telah dibasahi tidak lantas nafas menjadi lebih lega. Serentak tanpa dikomando seluruh dari mereka mulai batuk. Sampai titik ini, yang dapat mereka lakukan hanya berdiam diri berharap arah angin berubah, dan untuk kedua kalinya memasrahkan diri pada yang Maha Berkehendak. Beberapa menit berlalu hingga akhirnya arah angin berubah dan seketika itu mereka turun menuju tepi danau kawah yang lebih aman. Entah nasib apa yang akan menimpa mereka bila arah angin tak segera berubah.

Mengambil jalur yang sedikit berbeda, mereka mulai menapaki jalur berbatu untuk segera keluar dari dalam kawah. Tampak beberapa jejak longsoran di dekat jalur pendakian menjadi peringatan bagi para penambang dan pendaki. Jalur pendakian menuju danau kawah tidak lebih aman dari dinding kawah di seberang sana, batuan dinding kawah sangat rentan terlepas dan memicu longsoran yang mengancam pengguna jalur tersebut.

[caption id="attachment_313385" align="aligncenter" width="480" caption="Aktifitas penambangan belerang "][/caption] Lepas dari godaan maut, kini mereka telah aman berada di atas bibir kawah gunung berapi Ijen. Pemandangan sedikit berawan namun secara keseluruhan cukup cerah untuk ukuran musim hujan. Bekal makanan di tas masing-masing mulai dikeluarkan untuk menemani saat bersantai menikmati pemandangan lepas ke arah danau kawah yang berwana hijau tosca. Penambang mulai ramai dengan keranjang pikul mereka masing-masing dan menjadi objek menarik untuk diabadikan. Penambang rata-rata mampu mengangkut 70 kg dalam satu keranjang pikul, dan hanya akan dihargai Rp. 800,- per kilogramnya. Bila kondisi badan bugar, penambang bisa mengangkut 2 keranjang dalam satu hari. Suasana di bibir kawah pagi itu terasa sangat indah walau perjalanan panjang menuju Yogyakarta menanti mereka. Belum tiba di Yogyakarta, angan-angan mereka sudah penuh dengan rencana pulang ke kampung halaman masing-masing. Pengalaman bertaruh nyawa dan kerasnya perjuangan para penambang belerang mengajarkan mereka tentang harga sebuah kehidupan. Bagi para penambang, tidak bekerja masih jauh lebih berbahaya dari gas beracun, longsoran tebing, dan panasnya gas belerang. /Hkm [caption id="attachment_313395" align="alignleft" width="232" caption="Rp. 800/kilogram"][/caption]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline