Lihat ke Halaman Asli

Dia

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu ketika, Dia datang dengan muka merah padam, lansung nyerocos marah-marah padaku.
"Kamu gila, ya.., masak aku dibiarkan menunggu, mending kalo yang ditunggu-tunggu datang," telunjuknya menuding mukaku, tepat di depan hidungku.
"Kamu tahu berapa lama aku menunggu, dua jam tauk!"

Dan, "plak..," telapak tangannya yang lembut menampar keras pipiku. Lalu Dia meninggalkanku begitu saja sambil ngoceh sendiri, sebelum sempat aku memberi penjelasan bahwa mobil mogok, dan hpku rusak karena terjatuh ketika aku hendak mengecek kerusakan itu.
Lain ketika, Dia datang padaku sambil menangis, langsung memeluk aku. Pipinya ditempelkan di dadaku. Tangannya memeluk erat pinggangku. Dia menangis sejadi-jadinya. Aku hanya diam.
"Papa sama Mama gak sayang padaku, Mas," katanya disela isak tangisnya.
"Masa' aku gak diijinin ikut kemah, Papa sama Mama cuma sayang sama Mas Edo, kalo Mas Edo yang minta, apa saja pasti dikabulkan." Dia terus saja ngomel-ngomel disela isak tangisnya. Aku hanya diam saja.

Lain waktu, dia berlari ke arahku ketika keluar dari gerbang sekolahnya. Dia berlari dengan senyum mengembang kepadaku. Dia begitu gembira. Dan ketika Dia sudah dekat ke arahku, tangannya dibentangkannya selebar-lebarnya dan Dia berteriak, "Massss.....," Lalu Dia melompat, menerbak aku. Untung saja pada waktu itu aku dalam posisi siap menyambut dirinya, hingga Dia berada dalam pelukkanku. Dia mengecup pipi kiri dan pipi kananku. Lalu Dia melepaskan pelukkannya, lalu bicara dengan penuh semangat, "Ini merupakan hari paling bahagia bagiku,Mas," matanya berbinar bahagia menatap mataku, "Ulangan emtekaku dapet seratus." Dan sekali lagi Dia memeluk tubuhku serta mencium pipi kiri dan kananku.
Lain waktu lagi, Dia berkata seolah mengancam padaku.

"Pokoknya! Hari ini pulang sekolah, Mas harus mengantar aku ke pantai! Dan awas!" telunjuknya menuding mukaku, dan kepalanya mangut-manggut, persis seperti seorang preman yang sedang mengintimidasi mangsanya. "Jangan kasih tau Papa dan Mama! Kalo Papa atau Mama nanya, bilang saja ada pelajaran tambahan di sekolah." lanjutnya.
Suatu waktu lagi, Dia berteriak keras, "Hei...!" Air mineral dalam botol plastik tumpah membasahi muka dan kaosku. Kedatangannya begitu tiba-tiba, Dia mengagetkan aku dari belakang tubuhku ketika aku sedang menenggak air mineral. Dan melihat itu, Dia tertawa terbahak-bahak.
"ha ha ha..., kacian deh lu," katanya, dan
"Mas..., aku punya kejutan buat Mas," katanya dengan wajah yang lucu dengan tangan disembunyikan di balik punggungnya, "Tapi syaratnya Mas harus merem, dan kalo aku bilang buka..., baru buka, oke...!" Aku hanya tersenyum dan menuruti kemauannya. Aku memejamkan mataku, lalau ketika kudengar Dia bilang,"buka," aku membuka mataku. Tepat di depan mataku kulihat sebuah bungkusan. Kupandangi wajahnya. Dia tersenyum dan berkata,
"Ayo buka sekarang!"
Dan ketika kubuka ternyata isi bungkusan tersebut adalah sebuah kemeja berwarna biru muda, sebuah warna kesukaanku. Kupandangi wajahnya sambil tersenyum, dan sebagai reaksi dari senyum terima kasihku, Dia mencium pipi kiri dan kananku, "Eemmm... eemmmm."
Itulah Dia. Namanya Nadia Madia Faramedia. Begitulah sikapnya kepadaku. Kadang marah, memerintah, manja, perhatian dan terlihat sepertinya sayang kepadaku. Dan aku menerima saja segala sikapnya kepadaku.

Dia seorang gadis yang cantik, bukan menurutku saja, aku yakin semua orangpun akan berkata sama, bahwa Dia gadis yang cantik. Bila ada lelaki yang memandangnya pasti akan merasa kagum akan kecantikannya. Sering aku melihat kekaguman-kekaguman yang terpancar dari raut muka lelaki yang memandangnya, ketika aku berjalan berdua denganya. Dia juga memiliki tubuh yang indah dan sexy. Dia anak orang kaya. Dia anak bontot dari dua saudara. Dia pintar. Dia anak yang penuh kasih sayang orang tua. Dia mempunyai banyak teman. Dia anak yang bahagia dan periang.
Sampai suatu ketika, saat itu Dia sudah menjadi seorang masiswi Fakultas Kedokteran semester tujuh. Tanda kedewasaan sedikit sudah menghiasi wajahnya. Ketika aku hendak mengantarnya ke kampusnya, sambil menyetir mobil kurasakan Dia memandang lekat kepadaku, sambil tersenyum, sebuah senyum yang sudah sangat kukenal, senyum yang indah, ceria, tetapi kali ini senyumnya terlihat bertambah dewasa. Lama sekali Dia memandangku, kepalanya tidak pernah dipalingkannya ketempat lain, hanya memandangku. Aku jadi sedikit grogi. Sampai akhirnya di berkata, "Mas.., hari ini aku gak mau kuliah. Kita jalan-jalan aja ya.."
Aku sedikit kaget. Karena ketika Dia memandangku tadi, pikiranku jadi tak menentu, aku bingung, ada sebuah perasaan aneh muncul dalam diriku, tak pernah ini terjadi padaku.
"Lo...diajak ngomong kok diem aja? Iya gak..?
Dengan sedikit terbatah kujawab, "Ya." Jawabanku begitu kaku, tapi Dia seolah tak mempedulikannya. Dia masih saja memandangku dan masih saja tersenyum kepadaku.
"Kita ke pantai aja, Mas. Tempat sewaktu SMA dulu aku mengajak Mas kesana."

Aku mengangguk saja. Dan kuarahkan mobil yang kukendarai menuju tempat yang dimaksudnya.

Sesampai di pantai, setelah memesan dua gelas orange-juice, Dia berkata sambil tetap menyunggingkan senyumnya padaku, "kita duduk disana aja, Mas," tangannya menunjuk ke pondokan yang paling ujung. Aku hanya mengangguk saja.

Ketika berjalan menuju pondokan yang dimaksud, kedua tangan Dia memegang tangan kiriku, genggamannya tepat di atas siku tangan kiriku, kepalanya bersandar dibahu kiriku. Dia begitu manja. aku sering merasakan kemanjaannya padaku, tapi kali ini yang kurasakan begitu berbeda. Manjanya, bukan manja seorang anak kecil, sebagaimana manjanya sewaktu Dia masih SMA. Aku bingung kenapa aku merasakannya seperti ini, tetapi aku diam saja dan membiarkannya bersikap seperti itu.
Dan ketika berada di pondokan, sebuah pondok di tepi pantai yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Dia duduk tepat menghadapku. Kedua sikunya diletakkan di atas meja dan kedua telapak tangannya memangku dagunya. Lagi-lagi matanya lekat memandang mataku dan senyum indahnya seolah dipersembahkan khusus untukku.
Aku tak sanggup memandang mata itu, dan untuk menghindari pandangan itu, aku berpura-pura menikmati keindahan ombak yang menghempas di pantai.
Melihat tingkahku, Dia tertawa. Tawanya renyah sekali, dan terdengar begitu indah.
"Ehem...ehem...," Dia mendehem, bernada menggodaku, Dia sepertinya tahu kekakuanku.
"Mas, Mas..,.lihat aku dong," nada suara manja yang sudah sangat kukenal itu menegurku. Sambil tersenyum aku melihat kewajahnya. Aku tak tahu bagaimana bentuk senyumku dalam kekakuan sikapku.
Ketika kami berpandangan, semua terasa begitu hening. Aku tak tahu mengapa itu terjadi. Suara ombak yang menghempas seolah hilang begitu saja. Hening. Hening sekali. Lalu di dalam keheningan itu, Dia berkata kepadaku sambil memandangku, bahkan pandangannya terasa ikut berbicara kepadaku.
"Mas," Dia berkata serius sekali, aku belum pernah melihat Dia seserius ini. Aku hanya diam saja. Aku tak sanggup membalas tatapan matanya, pandangan mataku kualihkan kebibirnya, bibir yang begitu indah, begitu mempesona, yang selama ini sudah biasa kulihat, tapi baru kali ini membuatku begitu terpesona.
"Mas..., Mas tahu kenapa aku mengajak Mas kesini?" katanya sambil melepaskan topangan dagunya. dan meletakkan kedua tangannya di atas meja.
Aku menggelengkan kepalaku, sedikit sekali, seperti tidak menggelang saja, tapi aku tahu Dia mengerti bahwa jawabanku, "tidak."
"Mas, pernah melihat aku jalan atau pergi dengan cowok lain selain Mas?" tanpa menginginkan jawaban dariku, Dia melanjutkan kata-katanya.
"Tidak kan, Mas?"
"Mas, tahu kenapa..?" Dia tidak melanjutkan kata-katanya, sepertinya Dia kali ini mengharapkan jawaban dariku, atau hanya memberi jedah untuk melanjutkan kata-katanya. Pandangan matanya seolah mengisyaratkan hendak meyakinkan.
"Mas.., itu karena.........," kali ini nada bicaranya terasa berbeda, suaranya terdengar sedikit serak dan Dia memotong kata-katanya sendiri, kata-kata yang mestinya berlanjut tersebut terhenti, pandangannya pun dialihkannya secara tiba-tiba. Tiba-tiba saja Dia menunduk memandangi jemari tangannya sendiri.
Suasana terasa semakin menjadi hening, seolah yang terdengan hanyalah dengingan halus keheningan.
"Mas.., semalam aku tidak bisa tidur," Setelah diam beberapa jenak, Dia melanjutkan. Suaranya kali ini terdengar begitu lembut, bukan suara Dia yang selama ini kukenal. Aku tidak memberikan reaksi apa-apa, yang ada dikepalaku adalah keinginan untuk memeluknya erat-erat , ingin aku membelai rambutnya yang hitam tergerai, dan ingin kukecup keningnya. Aku tak tahu sejak kapan keinginan ini muncul. Muncul begitu saja. Ingin kutunjukkan rasa sayangku padanya. "Sayang..?" kata-kata itu muncul sendiri dikepalaku, yang kurasakan saat ini aku begitu menyayanginya. Tapi aku hanya berdiam diri, dan bersiap mendengarkan kelanjutan kata-kata dari Dia.
"Semalaman suntuk Dia memikirkan Mas," suaranya semakin melembut dan semakin terdengar serak, dan baru kali ini, sejak aku mengenalnya, Dia menyebut dirinya dengan "Dia", bukan "aku".
"Mas.., sudah sejak lama sekali Dia sayang sama Mas," matanya kali ini kembali memandang mataku.
"Dia merasa sayaaaang sekali sama Mas. Dia merasa Mas lah orang yang paling mengerti Dia. Dan selama ini hanya Mas lah orang yang paling dekat dengan Dia." Dia seolah tidak ingin dihentikan kata-kanya, Dia hanya ingin di dengar. Dengan muka yang bersemu merah, yang menambah kecantikan wajahnya, Dia meneruskan kata-katanya.
"Dia juga merasa kalau Mas juga sayang sama Dia. Walaupun Mas jarang sekali mengeluarkan kata untuk Dia. Walaupun Mas cuma berkata Ya, Baik, Ya Neng, Baik Neng, Ya Neng Dia, Ya ya ya, Baik baik baik dan Nang Neng Nang Neng," Dia berkata sambil tersenyum, sebuah senyum yang kurasakan sejuuuuuuk sekali.
"Tapi Dia yakin Mas juga sayang sama Dia, Dia dapat mersakan itu. Iya kan, Mas?" aku sedikit gelagapan mendapati pertanyannya, walaupun kini aku yakin yang dikatakannya adalah benar, dan walaupun keyakinan itu baru saja muncul hari ini, beberapa saat lalu. Aku yakin bahwa selama ini aku menyanyanginya, atau bahkan aku mencintainya, tetapi justeru ini yang membuatku bingung, sehingga kata-kata yang keluar dari mulutku, "Tapi Neng..."
"Tu kan... hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari mulut Mas, Nang Neng Nang Neng." Dia langsung memotong kata-kataku, walaupun aku sendiri tidak tahu apa yang akan aku katakan untuk melanjutkan kata-kataku. Nada suranya sedikit kesal, atau lebih tepat merajuk manja.
Setelah menyelesaikan kata-katanya Dia berdiri dan berjalan kearahku, lalu tiba-tiba Dia memeluk tubuhku. Aku kaget sekali. Tangannya melingkar erat di pinggangku dan kepalanya dissandarkannya di dadaku.
"Mas Dama.., Dia sayaaaaaang sekali sama Mas Dama. Dia cintaaaa sekali sama Mas Dama." Kata-kata itu keluar dari Mulut Dia, Dia yang berada dalam pelukanku. Kata-kata itu begitu menggelagar dan terdengar bergema-gema lama sekali, tetapi terdengar begitu indah. Kata-kata terindah sepanjang hidupku yang pernah kudengar. Apalagi kali ini Dia menyebut namaku, nama panggilanku, Dama.
Pelukan Dia semakin mengerat ditubuhku. Dia seolah-olah tidak ingin aku melepaskan dirinya dari pelukanku. Entah karena dorongan apa, akupun memeluk dirinya, tanganku membelai rambutnya, belaian yang lembut, yang membuat diriku begitu damai, dan dapat kurasakan Dia pun merasakan kedamaian seperti yang kurasakan. Lalu sambil berkata lembut, "Mas Dama sayang sama Dia, Mas Dama cinta sama Dia," kukecup kening Dia dengan lembut dan penuh rasa sayang.
Lama sekali kami berpelukan, tak ingin rasanya kedamaian ini berlalu. Aku tak lagi menghiraukan bahwa Dia adalah majikanku, anak majikanku. Aku tak lagi menghiraukan bahwa aku hanyalah seorang sopir. Aku mencintai Dia dan Dia mencitai aku.
Waktupun berlalu, kini aku berdiri di depan sebuah bengkel mobil, sebuah bengkel yang besar dan mewah dengan plank merek besar bertuliskan "Bengkel Mobil Qudama Mandala Putera", dan dari kejauhan Dia berlari ke arahku sambil tersenyum, senyum yang selalu saja menyejukkan hatiku.
"Mas.., bagus gak desainnya?" Dia menyerahkan sebuah amplop undangan pernikahan yang di halaman muka bertuliskan "Dia & Dama", yang di dalamnya bertuliskan "Pernikahan Putera-Puteri Kami: dr. Nadia Madia Faramedia dengan Qudama Mandala Putera"

Salam bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline