Lihat ke Halaman Asli

ARIEF SYAMSUDDINMUHAMMAD

Guru Pendidikan Umum dan Penceramah Agama

Kampus sebagai Perdamaian Pesta Demokrasi

Diperbarui: 6 Februari 2024   22:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 
Pesta demokrasi di Indonesia tahun 2024 ini, bagaikan drama yang menyuguhkan plot twist yang sukar ditebak. Setiap episodenya mempertontonkan akting para elit politik yang piawai memainkan dramaturgi; apa yang ditampilkan di depan sama sekali berbeda dengan apa yang ia perankan di belakang. Mulai dari pecah kongsinya Gerindra-PKB, drama putusan MK yang berujung pada naiknya putra presiden menjadi kontestan pemilu, sampai pada "keberpihakan" Jokowi dalam salah satu statemennya beberapa waktu lalu. Mengendus denyut demokrasi yang makin tidak sehat ini, sivitas akademika kampus di sekujur Indonesia mulai bersuara.
 
Pasca Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Indonesia ngluruk kondisi demokrasi yang sedang krisis, pernyataan bernada protes juga disampaikan oleh Universitas Indonesia, Universitas Andalas dan Universitas Hasanuddin. Bergeraknya insan cendikia ini, menjadi sinyalemen memudarnya sikap kenegarawanan presiden Jokowi. Hal ini, setidaknya terlihat dari empat indikator sebagaimana yang menjadi tuntutan UII, yaitu: pertama, pencalonan anak sulung presiden yang cacat secara etik. Kedua, ketidaknetralan Jokowi melalui klaimnya bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye atas legitimasi Undang-Undang. Ketiga, distribusi bansos yang dipersonalisasikan. Keempat, mobilisasi aparatur negara. Keempat indikator inilah yang memantik para sivitas perguruan tinggi bersuara dalam rangka menyelamatkan demokrasi yang terkoyak.
 
Keadaban Politik
Saat ini kita tengah disuguhkan oleh perilaku akrobatik para pendukung pasangan calon (paslon) dalam memenangkan pemilu. Mereka tak hanya menjelma sebagai political marketer, namun juga bermetamorfosis menjadi political selling. Apapun akan mereka lakukan agar calon yang diusungnya "terjual" di pasaran. "Pemilu Satu Putaran" menjadi narasi yang selalu dijual dengan memanfaatkan berbagai infrastruktur politik yang ada. Perilaku politik yang demikian, sayangnya menyeret nama Jokowi yang selama ini dikenal sebagai figur pemimpin yang sederhana, merakyat dan populis. Posisinya sebagai kepala negara, memegang peranan yang sangat superior dan otoritatif.
 
"Ich habe nur den Befehlen gehorcht; saya hanya mengikuti perintah". Kondisi inilah yang mengesankan bahwa segala resource yang sedang dibawah kendali presiden harus sepenuhnya patuh. Potensi konflik kepentingan yang mencederai keadaban politik bangsa Indonesia meniscayakan posisi presiden harus bersikap netral dan adil karena dia adalah pemimpin untuk semua kelompok dan golongan, bukan untuk sebagian kelompok saja (paslon tertentu). Di sisi lain, masih banyak aparatur negara dan menteri aktif yang tidak mengundurkan diri. Padahal mundur adalah pilihan yang menunjukkan sikap berkeadaban, karena ketika masih memegang jabatan sebagai pejabat negara dan ikut dalam kampanye, tidak bisa menjamin bahwa jabatan tersebut bersih dari kepentingan kepentingan elektoral.


Fenomena "ikut campur" perguruan tinggi dalam pesta demokrasi tahun ini merupakan hal baru sejak Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum secara langsung. Namun perlu digarisbawahi bahwa apa yang terjadi saat ini adalah bukan hanya sekedar politisasi kampus, namun harus dimaknai sebagai upaya menjaga marwah demokrasi. Kampus memiliki tanggung jawab moral dan etik agar proses demokrasi berjalan dengan damai, jujur dan adil. Apa yang dilakukan oleh masyarakat kampus tidak bisa dipahami sebagai gerakan politik. Cara pandang ini perlu didudukkan, jika demokrasi berada ditangan politisi maka orientasinya adalah kekuasaan. Namun apabila berada di tangan akademisi, maka orientasinya adalah menjaga keadaban demokrasi.

Jika ditelisik dari teori mobilisasi, apa yang dilakukan oleh insan cendikia perguruan tinggi sudah memenuhi lima dari enam indikator anatomi mobilisasi. Pertama, adanya pemicu. Kita pasti mafhum bahwa pemicu dari gerakan non elektoral yang dilakukan karena majunya Gibran dan statemen keberpihakan sang ayah untuk berkampanye sebagai presiden. Kedua, terjadi peristiwa bahwa pemicu tersebut tidak hanya sebuah wacana tapi memang benar-benar telah terjadi. Ketiga, framing perguruan tinggi atas dinamika demokrasi di Indonesia sudah mendapat atensi dan respon dari berbagai media. Keempat adalah tindakan partisipasi dengan ditunjukkan semakin banyak perguruan tinggi yang melakukan tuntutan serupa. Kelima, terbentuknya gerakan dimana fenomena ini telah menggerakkan insan akademis untuk turut bergerak atas nama demokrasi. Keenam, ini yang belum diketahui, bahwa hasil akhir dari voice of university ini menjamin bahwa pemilu dilakukan dengan seadil dan sejujur-jujurnya.

Kualitas pemilu di Indonesia tahun ini masih sangat rawan kecurangan dan malapraktik elektoral. Salah satu jenis manipulasi elektoral yang saat ini tengah bergejolak adalah soal "etika demokrasi" melalui aktivitas nepotisme, personalisasi bantuan sosial sebagai praktik transaksional dan kerawanan netralitas aparat. Pada transisi menuju demokrasi yang sejati, Indonesia hari ini memperlihatkan bahwa bangsa ini masih defisit civil society. Bagi masyarakat kampus, politik adalah lambang marwah dalam bernegara, pemilu sebagai bagian dari realisasi demokrasi merupakan cerminan ideologi sebuah bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline