Lihat ke Halaman Asli

PEREMPUAN = DAPUR, SUMUR DAN KASUR

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jaman Kolonial belanda pendidikan menjadi barang mahal yang sulit untuk dapat dikonsumsi, hanya anak-anak tertentu yang boleh mengenyam pendidikan. Hanya anak para bangsawan tokoh – tokoh pergerakan, dan anak-anak mener belanda yang dapat menikmati sekolah. Namun kesempatan mengenyam pendidikan hanya berlaku pada kaum pria saja, anak-anak wanita belum dapat kesempatan untuk menjadi pandai.

Mereka yang mengenyam pendidikanpun harus mengkonsumsi pendidikan versi belanda. Mau tidak mau itulah pendidikan yang harus diterima. Menjadi wajar jika bangsa kita bodoh dan ditindas, hingga sulit untuk membedakan penindasan dan bukan penindasan. Hingga bangsa kita tidak merasa ditindas, karena semua prasarana pendidikan telah diberikan oleh belanda.

Sebuah pemikiran baru dari RA.kartini bahwa seorang wanita juga berhak memperoleh pendidikan. Tidak hanya berkutat pada urusan dapur, sumur dan kasur. Wanita perlu adannya pendidikan agar dapat merdeka. Namun perjuangan kartini belum usai, Ia wafat terlebih dahulu. Wanita tidak mengenyam pendidikan adalah suatu hal yang wajar, karena paradigma orang tua jaman dahulu jika seorang anak Wanitannya sekolah sampai tinggi akhirnnya harus kemlbali kerumah juga untuk urusan dapur, sumur, dan kasur. kodrat menjadi suatu alasan kuat bahwa wanita harus menjadi seperti itu.

Harapannya agar wanita Indonesia menerima pendidikan yang sama, wanita juga memiliki kesempatan yang sama dibidang pekerjaan, wanita juga memiliki hak-hak yang sama. Berkembangnya jaman, saat ini kesempatan mendapatkan pekerjaan, pendidikan dan hak yang sama telah ada di negeri ini. Negara Tidak melarang bahwa anak perempuan sekolah, Negara Tidak melarang bahwan wanita bekerja seperti pria.

Namun dengan kesempatan yang telah diberikan, wanita tidak bisa menghindari kontruksi sosial yang sudah terbangun, menjadi kewajiban ketika ia tela bersuami, dan menjadi seorang ibu. Ada suatu kewajiban yang harus dipenuhinnya sebagai seorang ibu untuk anaknnya, sebagai seorang istri untuk suaminnya, dan sebagai seorang perempuan untuk laki-lakinnya.

Menjadi dua paradigma soal “perempuan” yang bekerja atau wanita karir dengan perempuan yang tak hanya soal bekerja. Perempuan yang tidak hanya menitih karir, ia harus repot dengan anaknnya, karena suatu kewajiban urusan anak adalah urusan perempuan, belum lagi urusan menyusui, merawat, sampai ganti popok dan cuci baju adalah urusan perempuan. Laki-laki sifatnnya hanya membantu bukan sebagai pemegang tanggung jawab. Tanggung jawab itu semua sepenuhnnya urusan perempuan.

Pagi hari perempuan juga direpotkan berbelanja dan soal masak memasak, untuk melayani suami dan anak. Tangan terampil mulai mengolah bumbu berjam-jam berdiri didepan kompor untuk menyajikan masakan yang sepesial untuk orang yang dikasihinnya. Disini tetap posisinya laki-laki sifatnnya membantu bukan pemegang tanggung jawab memasak dipagi hari.

Belum lagi harus membereskan rumah yang berantakan, menyapu, mencuci piring, mencuci baju dan lain-lain. sekali lagi disini pemegang tanggung jawab penuh adalah perempuan. Laki-laki hanya membantu saja. Membantu bukan sebagai pemegang tanggung jawab namun tetap saja pada sifat membantu.

Ketika seorang istri juga bekerja mencari pendapatan untuk memenuhi keluargannya, hal ini akan menjadi terbalik. Bahwa seorang istri membantu suaminnya mencari pendapatan keluargannya. Walaupun pendapatan istri lebih besar daripada suaminya hal ini tetap saja sifatnnya membantu, karena tanggung jawab seorang laki-laki untuk menafkahi keluargannya.

Jika istri mendapat masalah dalam pekerjaannya, misal saja soal upah, tunjangan yang tidak dibayar, cuti hamil yang tidak diberikan. hal ini tidak menjadi soal, karena istri sifatnnya membantu suami mencari pendapatan. Menurut suami solusi terbaik adalah berhenti bekerja, mencari pekerjaan lain atau kembali kerumah.

Namun jarang sekali dalam kontruksi sosial menganggap seorang istri diperbolehkan oleh suaminnya untuk bekerja. Laki-laki lebih senang jika istrinya dirumah menjaga anak-anaknnya dan mengerjakan pekerjaan rumahnnya. Dengan berdiam diri dirumah akan membuat seorang perempuan menjadi tinggi hingga seperti permaisuri raja. Menghabiskan waktu didalam rumah Menunggu suami pulang mencari nafkah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline