Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi, sebuah nama “njawani” yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan dahsyat di Masyarakat. Di warung kopi, pasar, mall, angkot, bus kota, orang berlalu lalang di jalanan ibukota terus mendiskusikan nama Jokowi. Bukan karena Jokowi telah menerobos benteng tradisi sehingga memenangkan kompetisi calon gubernur di DKI Jakarta, namun figuritas Jokowi yang gaul, murah senyum dan akrab dengan warga menjadi trandmark tersendiri, sehingga pantas pada putaran pertama Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Jokowi mengungguli lawan-lawannya.
Namun, Jokowi musti berhati-hati dengan Wakilnya Ahok. Pada rilis Exit Poll Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada Pemilukada DKI Jakarta 2012 Putaran Pertama, menunjukkan demografi politik pemilih Jakarta. Exit Poll LSI menemukan bahwa 100% pemilih dari etnis Tionghoa mengaku memilih pasangan Jokowi-Ahok. Mayoritas pemilih dari etnis Tionghoa tidak mengetahui program-program pasangan Jokowi-Ahok, kecuali figur Ahok berasal dari etnis yang sama dengan mereka, saat wawancara pada sesi pencoblosan putaran pertama.
Sudah jelas bahwa konsorsium politik etnisitas China akan mendominasi di Jakarta. Sementara kita tahu, mazhab ekonomi Ahok yakni Liberal State. Seperti di uraikan oleh John Stuart Mills tentang arah mazhab ekonomi liberal yakni “Kehendak dirinya, keinginan pribadinya sendiri dan kelebihan pikirannya, untuk menjadi seorang yang memiliki kedaulatan individu”.
Kedewasaan berpolitik dalam rangka membangun demokrasi yang lebih baik, sebenarnya tak terjadi di Jakarta pada Pilgub kali ini. Justru yang terjadi adalah Politik Etnisitas yakni begitu dominannya pengaruh Primordialisme Etnis China, baik dalam segi loyalitas maupun distribusi logistik. Meskipun distribusi logistik itu terus terbantahkan ketika diajukan ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) pada Pilgub kali ini.
Seperti di elaborasi istilah Joseph A. Schumpeter dalam bukunya “Capitalism, Socialism and Democracy”, Schumpeter mengungkapkan bahwa rumusan demokrasi dengan: the democratic method is the istitutional arrangement for arriving at political dicision in wich individuals acquaire the power to decide by means of competitive strugle for the people vote (demokrasi adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat). Konsepsi Schumpeter di atas ingin menjelaskan yakni program riil apa yang sebenarnya di tawarkan oleh Pasangan Jokowi-Ahok ketika benar menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta nanti.
Justru yang hari ini hadir yakni popularitas Jokowi pasca kemenangan putaran pertama Pilgub DKI Jakarta itu sesungguhnya semu, Mengapa?. Justru yang perlu dicermati yakni pergerakan politik dari Ahok. Betapa Ahok hadir sebagai representasi primordial Chinese yang diperhitungkan. Ahok pun ditaksir sebagai kekuatan politik siluman, yang bisa muncul seketika.
Misalnya berandai-andai, ketika Jokowi didorong oleh Ahok unutuk turut meramaikan bursa Pilpres 2014, maka secara otomatis mengundurkan diri dari Jabatan Gubernur. Secara konstitusi Ahok menerima “pulung” akan naik tahta menjadi gubernur DKI Jakarta. Perlu kita cermati misalnya, Ahok menjadi gubernur, Apa jadinya Kota Jakarta nanti?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H