Lihat ke Halaman Asli

Estetika Kota dan Baliho Jokowi

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13408979141378607159

Momentum demokrasi di Indonesia layak disebut sebuah pesta spanduk dan baliho. Barangkali sudah dianggap lazim karena sudah berlangsung lama di negeri ini, sehingga konstituen terbiasa menatap jalanan yang hiruk-pikuk oleh spanduk dan baliho warna-warni. Jika dibandingkan dengan suasana di negara lain seperti Malaysia atau Singapura misalnya, jalan raya kita memang sangatlah meriah. Baliho iklan, papan pengumuman, spanduk penuh jargon, dan semacamnya adalah fenomena yang membuat jalan raya kita tampak penuh sesak.

Tujuan utama baliho dan spanduk semacam ini sangat jelas: mengenalkan kandidat kepala daerah ke publik yakni kepada masyarakat yang telah atau akan menjadi target konstituen mereka. Oleh karena itu, terpampangnya wajah para tokoh ini jauh lebih penting ketimbang pesan ideologis atau program untuk disampaikan pada masyarakat.

Janji-janji Jokowi

Janji demi janji terus digemborkan para bakal calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta. Joko Widodo alias Jokowi misalnya, berjanji kampanye tanpa mengotori kota dan tidak memakai dana gajah alias dana besar. Sehingga Jokowi mengajak kepada tim suksesnya tidak mengumbar spanduk dan baliho di jalanan kota.

Jokowi menegaskan bahwa "Kami pakai dana kampanye paling minim, tidak ada baliho, spanduk dan saya tidak akan mengotori kota, saya menggunakan strategi agar tepat sasaran. Karena kita tidak pakai dana gajah-gajahan," (24/3/2012)

Komitmen Jokowi dan tim suksesnya dengan tidak mengotori estetika kota patut diapresiasi. Momentum pemilihan kepala daerah yang ada di benak masyarakat khususnya Jakarta, saat prosesi kampanye, yang dilihat masyarakat yakni menjamurnya Baliho dan spanduk di pusat-pusat keramaian kota. Hal ini yang kemudian, begitu mengganggu pemandangan estetika kota.

Namun, janji Jokowi untuk tidak jor-joran memasang baliho dan spanduk itu hanya kamuflase belaka. Kita bisa melihat misalnya di sekitar jalan saharjo, rawamangun, pasar minggu, slipi dan klender begitu tampak kumuh baliho dan spanduk para pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, termasuk spanduk dan baliho Jokowi yang begitu mendominasi dan menggunakan paku dalam pemasangan di pohon-pohon di pinggir jalan.

Pertama, rata-rata spanduk jokowi dengan ukuran 1 meter, di paku di pohon-pohon pinggir jalan. Hal ini tentu akan merusak lingkungan, bahwa taman sebagai paru-paru kota, mesti di rawat khususnya bagi bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta nantinya.

Kedua, dengan begitu banyaknya spanduk dan baliho milik calon gubernur Jokowi di jalanan ibukota. Hal ini tentu menegasikan jargon dana yang minim dan iuran dari warga itu hanya omong kosong. Patut dicermati, komitmen Jokowi yang mencla-mencle itu, bagaimana nantinya jika Jokowi benar-benar menjadi gubernur DKI Jakarta, bisa jadi jalanan ibukota akan semakin kotor dengan gambar Jokowi di semua sudut kota.

Ketiga, baliho-baliho jual tampang itu menambah lagi variabel yang menyebabkan mahalnya prosedur demokrasi di kota tercinta DKI Jakarta. Prosedur-prosedur demokrasi yang kita pilih memang membuka peluang partisipasi politik yang kian luas dan transparan. Sayangnya, prosedur-prosedur tersebut juga berbiaya sangat tinggi termasuk iklan baliho, spanduk dan iklan Televisi yang dilakukan Jokowi.

Mengapa musti Baliho Jokowi yang menjadi sorotan?. Jokowi pernah berjanji bahwa konsep kampanye kandidat cagub ini tidak akan mengotori pemandangan di jalan-jalan kota dan lebih menggunakan kampanye person to person. Namun, hari ini kita saksikan bahwa tawaran dari Jokowi terbantahkan dengan menjamurnya spanduk dan baliho Jokowi di jalanan ibukota.

Hal ini tentu ironi, mengingat Jokowi seringkali menyebut jargon "Jakarta Baru". Jokowi tak ada bedanya dengan kandidat lain soal mengotori Kota Jakarta dengan spanduk dan baliho. Jargon Jokowi menjadi harapan baru masyarakat Jakarta terkoreksi dengan janji-janji palsu ikut serta dalam mengotori jalanan ibu kota Jakarta.

Kini, bukankah sudah waktunya bagi pasangan cagub dan cawagub untuk memikirkan prosedur demokrasi yang lebih ramah dengan estetika kota?

·ARIDHO PAMUNGKAS

·Kontributor Pecinta Estetika Kota Jakarta




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline