Lihat ke Halaman Asli

Terbelenggu Euphoria Idul Fitri, Perlukah?

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ramadhan telah usai.

Ini sudah biasa. Seperti juga bulan-bulan lainnya. Jika Ramadhan bisa usai, maka Syawal pun bisa usai. Demikian pula dengan bulan Besar, bulan Muharam dan bulan-bulan lainnya.

Seperti yang sudah-sudah. Kala datang Ramadhan, terjadi gegap gempita penyambutan. Koreksi dan saling menasehati menjadi isi cerita setiap hari. Tentang bagaimana seharusnya umat melakukan tidur dan terjaga selama dalam Ramadhan.

Kini, begitu Ramadhan pergi, nasehat pun berganti. Bukan lagi gegap gempita soal bagaimana seharusnya tidur dan terjaga saat malam hari. Namun, lebih kepada, saling mengkoreksibagaimana seharusnya saling mengucapkan selamat yang baik dan benar, seiring datangnya bulan Syawal. Saling mengkoreksi bagaimana seharusnya umat meminta maaf. Juga dikoreksi, betapa salah (kaprahnya) pengucapan-pengucapan oleh kebanyakan umat selama ini. Juga dikoreksi, betapa salahnya umat mengucap Minal Aidin wal fa’idzin, mohon maaf lahir batin.

Ini terjadi setiap tahun dan diulang-ulang saja.

Dan ini kemudian, membuat saya mencoba merenung tentang sebuah keindahan yang mudah-mudahan baru.

Bila hidup tidak bergantung pada Ramadhan dan Syawal, maka, barangkali yang terjadi hanyalah keinginan memperbaiki hidup setiap hari.

Tidak peduli apakah itu Ramadhan atau bukan Ramadhan. Tidak peduli apakah itu didalam atau diluar Syawal. Semua bulan menjadi sama indahnya untuk beribadah. Setiap hari menjadi sama pentingnya untuk diwarnai dengan doa-doa. Pagi, siang, petang dan malam.

Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan sepanjang tahun dan sepanjang kehidupan menjadi selalu indah saja dalam melakukan ibadah yang motifnya adalah hanya, karena dan untuk Allah. Bukan karena dan untuk pahala atau yang lainnya.

Setiap ibadah menjadi tidak didorong-dorong oleh keinginan mendapat balas jasa, karena balas jasa Allah, sama sekali tidak perlu diragukan. Sama sekali tidak perlu dikhawatirkan selama perintahNya dijalankan dengan baik.

Jika memang menganggap Ramadhan dan Syawal itu adalah bulan baik, bulan suci dan bulan besar, lantas mengapa tidak dijadikan saja amalan Ramadhan dan Syawal sebagai pekerjaan/amalan harian saja. Sehingga tidak perlu perdebatan yang saling meninggikan atau merendahkan pengetahuan tentang mereka. Doa malam, tadarus, mengaji, mengkaji, sedekah, “zakat”, saling memberi, saling memaafkan dijadikan kegiatan harian. Selesai.

Jika amalan Ramadhan maupun Syawal dipilih menjadi amalan/pekerjaan harian, maka dalam setiap moment lebaran/Idul Fitri/Hari Raya, tidak perlu lagi ada euphoria atau sikap berlebih-lebihan dalam menyongsongnya.

Tak perlu ada luka dan kematian akibat terinjak-injak saat berebut zakat. Harga-harga menjadi terkontrol. Sistem perekonomian menjadi baik-baik saja. Kemiskinan dan pengangguran bisa teratasi. Begitu apa yang saya pikirkan.

Terima kasih sudah membaca. Terima kasih Allah SWT. Terima kasih kepada semua tulisan yang menginspirasi. Salam bahagia dan terus berkarya!

Catatan:

Jika dalam tulisan ini disinggung tentang amalan Ramadhan yang bisa dikerjakan setiap hari, maka yang dimaksud penulis adalah amalan selain “PUASA”, sebab tidak boleh berpuasa setiap hari, sepanjang tahun, sepanjang hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline