Lihat ke Halaman Asli

Wajah Sarjana Ekonomi Masa Kini

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13371347391857575878

[caption id="attachment_188545" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption]

“Bergelar dan berguna adalah dua hal yang berbeda. Yang bergelar belum tentu berguna.” (Aridha Prassetya)

Kesalahan fatal kampus kita yang memiliki Fakultas Ekonomi adalah tidak menyertakan kata INDONESIA setelah kata “EKONOMI”. Dan saya, salah satu yang ikut berpartisipasi melakukan kesalahan fatal ini.

Saya baru tersadar. Harusnya FE berubah menjadi FEI. Dengan menamai FE menjadi Fakultas EKONOMI INDONESIA, maka kampus menjadi jelas arah. Mahasiswa dan dosen menjadi selalu diingatkan.

Bahwa yang harus secara konsisten dibangun adalah EKONOMI INDONESIA. Bukan Ekonomi siapa-siapa. EKONOMI INDONESIA ya ekonomi seluruh rakyat Indonesia, yang rodanya adalah pelaku-pelaku usaha baik usaha kecil, menengah maupun besar.

Abainya kampus terhadap kata INDONESIA ini menyebabkan FE-FE yang ada, menjadi lupa tugas-tugas ke_Indonesiaannya.

Persoalan-persoalan Ekonomi Indonesia lupa diselesaikan. Khususnya persoalan yang diderita pelaku usaha skala kecil/mikro yang jumlahnya banyak dan sangat beragam. Padahal mereka adalah prime movers (penggerak utama) roda Ekonomi Indonesia. Dan kemana kampus sebagai yang ikut bertanggung jawab?

Mereka makin jauh berjalan. Mengembara kemana-mana tanpa arah. Kaki menginjak tanah leluhur, namun otak bekerja keras berfokus menghasilkan sarjana, yang “dipaksa” mampu menyelesaikan persoalan bangsa lain.

Alih-alih menyelesaikan masalah, yang terjadi malah menciptakan chaos (kekacauan) ekonomi di negeri sendiri.

Para sarjana menjadi sibuk menyelesaikan persoalan jual beli saham milik asing, menjual tingginya tingkat bunga bank-bank asing, memikirkan pasar mereka (sehingga misalnya, produk Cina tak lagi perlu dibatasi masuknya).

Penduduk Indonesia makin sibuk menjadi pangsa pasar asing, bersuka cita ikut memuaskan dahaga asing akan keuntungan berlimpah dari negeri ini. Dan soal chaos itu, paling gamblang bisa dilihat pada pelaku usaha skala kecil.

Inilah gambaran usaha skala kecil yang kurang perhatian:

Tukang bakso, tukang tahu, tukang tempe, tukang keripik, tukang kerupuk, pedagang ikan, daging dan ayam “segar” sudah banyak yang ngawur, pedagang buah sudah gelap mata, tukang kue keliling sudah tidak mau tahu tentang bahaya kanker akibat penggunaan pengawet dan pewarna tekstil. Jelata membunuh jelata. Berdagang keliling di sekolah-sekolah dan kampung-kampung. Tidak punya perasaan terhadap generasi anak-anak yang kelak bakal terancam bahaya kanker bila makanan yang dikonsumsinya, dibubuhi “racun pengawet dan pewarna”. Para pengusaha kecil sudah “saling bunuh” dengan cara yang mengerikan, bahkan tanpa merasa bahwa mereka sudah membunuh pelan-pelan saudara sebangsanya. Ini lebih kejam dari “psikopat”.

Sarjana Ekonomi lulusan mana yang sedang berkuasa, peduli soal-soal yang melanda pengusaha jelata ini?

Makin ke sini, perguruan tinggi tidak merasa perlu menolong “pelaku ekonomi mikro” dan “korban-korban kejahatannya”. Malah sebaliknya, berfokus pada segala pelajaran yang berbau internasional. Padahal, omong kosong dengan segala keinternasionalan jika pondasi nasional berantakan dan tidak kunjung dikuatkan.

Banyak pelaku UKM tidak tahu kemana harus meminta tolong, ketika mereka kesulitan permodalan, sumber daya manusia, produksi dan pemasarannya. Di TV, pemerintah memang tampak memperhatikan ini. Tapi kata-kata pemerintah lewat iklan TV, kerap tak sinkron dengan fakta lapangan.

(Memang ada program-program untuk usaha kecil menengah, tapi dana itu “disunat ngepok” (Habis) oleh “para gondoruwo”. Dua kawan meringkuk 4 tahun di penjara, setelah nekad, bersedia mengelola projek dengan dana hanya 35% dari yang seharusnya. Akibatnya pada saat laporan, puyeng sendiri. Penjara akhir semuanya, usai terbongkar telah merekayasa 65% dana yang hilang dibawa kabur para gondoruwo itu)

Andai saja kampus (mahasiswa dan dosen) bersedia menulis buku-buku praktis untuk menolong usaha mikro, dari urusan produksi hingga pemasarannya, keadaan Indonesia akan jauh lebih indah.

Hebatnya kampus bila pustakanya sanggup menjadi pusat informasi dan menghasilkan buku-buku penjawab persoalan seperti, bagaimana membuat pembukuan sederhana untuk pedagang bakso, krupuk, kripik, pedagang sayur keliling, mi ayam, pedagang pentol sunduk, pedagang bubur kacang ijo, es campur, nasi pecel dll.

Hebatnya kampus bila pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana memproduksi, menyiapkan sumber daya manusia hingga pemasaran mereka dapat dengan baik dijawabnya.

Bayangkan Indonesia yang hidup kembali koperasinya karena kampus-kampus bersedia menyemarakkannya! Bank-bank asing, “drakula” yang rentenir kelas kakap itu akan hengkang dari Indonesia.

Perpustakaan kampus akan merupakan cermin keadaan ekonomi Indonesia Raya (pinjam istilah mas Singgih Swasono). Sebuah Indonesia yang unik dan kaya ragam usaha mikro. Bukan Indonesia yang apatis, yang tega membiarkan sendirian para pelaku usaha mikro menyelesaiakan persoalannya dengan cara-cara yang membahayakan seluruh negeri.

Hingga hari ini, PT memang mampu menghasilkan puluhan bahkan ratusan ribu SE, namun, sepertinya baru setingkat ini kapasitasnya:

“SE adalah sarjana yang mengerti ekonomi asing, bisa bekerja untuk asing dengan cara-cara asing, berpikir dengan pola-pola asing, menghamba kepada majikan-majikan asing, bersaing dengan cara-cara asing, bila perlu menginjak dan menggencet kaki sesama bangsa yang dianggap sebagai pesaing/musuh. SE yang bekerja untuk asing dan terus naik karir adalah adalah manusia pintar yang membanggakan orang tua, keluarga dan bangsa…”

Siapakah Asing hari ini?

Bukan hanya Amerika, Inggris, Perancis, tapi Asing juga Arab, Malaysia, Singapura, Korea, Australia, India, Brunei, dan lain-lain.

Simak saja pemilik perbankan dengan berbagai produk tabungan, kartu kredit dan asuransi, pemilik perhotelan, perkebunan, pertekstilan, leasing, moda transportasi, dll bahkan hingga bisnis pendidikan. Makin asing makin berkualitas. Makin asing makin prestis saja.

Diantara “reruntuhan bangunan” kampus yang di situ dibangun FE oleh para penggagasnya, saya yang ikut bersalah jadi terdiam.

Padepokan-padepokan bernama kampus itu, pastilah pada awalnya didirikan untuk cita-cita yang amat luhur, yaitu menghasilkan SE yang mengerti keadaan Ekonomi Indonesia. SE yang mampu membuat berdaya dan mengelola Ekonomi Negeri Indonesia.

Namun sayangnya, ego dan keserakahan kepemimpinan yang silih berganti, telah mengubah yang suci menjadi “birahi”. Birahi terhadap kelimpahan uang dan kekayaan.

Pelan tapi pasti, kampus berhasil dikuasai oleh kelompok Mak Lampir dan gerandong-gerandong masa kini, yang selalu haus darah rupiah. Gelombang-gelombang pendaftaran direkayasa dengan berbagai judul manis. Seraya mengulurkan selembar kesepakatan “Wani piro?”, sebelum calon diterima.

Lama termenung, saya berimajinasi. Mencoba masuk ke dalam cita-cita luhur para founding fathers tentang bagaimana gambaran SE Indonesia yang seharusnya.

Sayangnya, guru menulis saya mengajarkan, bila saya menulis artikel on line, saya harus memangkas “bicara” saya pada kata ke 500 atau 600. Ini sudah lebih 700 kata. Semoga bisa saya tayang pada kesempatan berikutnya.

Terima kasih banyak sudah membaca…

Salam bahagia penuh karya!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline