Masih soal bisnis. Beberapa hari ini saya mendapat pertanyaan, “Ibu, bagaimana caranya agar produk kita bisa laku keras dan bisnis saya bisa sukses terus?”
Hm… pertanyaan itu terdengar sepele. Jawabannya pun tampak sepele. Yang tidak sepele adalah menterjemahkan jawaban saya ke dalam tindakan-tindakan nyata.
Bagaimana agar produk laku keras? Pertama, kita harus mengerti dengan baik produk yang kita jual.
Ke dua, kita harus mampu menjawab sebuah pertanyaan mendalam. Pertanyaan mendalam ini adalah pertanyaan yang harus Anda ucapkan. Belajarlah berempati. Menempatkan diri pada posisi orang lain. “Masuk ke dalam sepatu pelanggan”. Jadi, bayangkan Anda adalah calon konsumen. Lalu bertanyalah kepada penjual:
“Mengapa Anda berpikir saya harus membeli produk Anda?”
Nah, bertukarlah peran sekarang. Jika Anda adalah penjualnya, kira-kira apa jawaban Anda? Itu pertanyaan terdalam konsumen (the deepest question) yang harus siap kita jawab ketika kita ingin produk kita laku keras. Bila pertanyaan itu terjawab, probabilitas konsumen bakal memutuskan membeli adalah 70%.
Namun tunggu dulu! Itu adalah ilmu pemasaran biasa. Ilmu pemasaran yang diajarkan di kampus-kampus komersil yang hobbi banget memperdagangkan guru-guru, gelar-gelar kehormatan dan juga ilmu-ilmu.
Hari ini saya ingin memberi sentuhan yang agak berbeda dari apa yang diajarkan oleh Padepokan Mak Lampir itu. Saya ingin berbagi pengetahuan tentang ilmu spiritual marketing. Spiritual yang saya maksud di sini tak ada kaitannya dengan perdukunan dan paranormal. Seperti yang pernah saya tulis di sini, bahwa spiritualitas adalah sebuah tindakan (bukan kata-kata), memperlakukan dengan baik, manusia, binatang dan tetumbuhan.
Praktik Spiritual Marketing melarang kita “melukai” konsumen. Praktik Spiritual Marketing pun tidak mengijinkan “melukai partner bisnis”. Tulisan saya kali ini, diinspirasi olehSpiritual Marketing, sebuah buku indah karya Joe Vitale.
Rahasia kelanggengan keberhasilan bisnis adalah meniadakan ketidakjujuran dalam proses berbisnis, sejak awal bisnis itu diniatkan, hingga ketika keuntungan bisnis dicapai.
Sejak awal berbisnis, keinginan “sejahtera bersama-sama”, harus menjadi puncak cita-cita. Kita tidak diijinkan “sejahtera/berhasil” sendirian. Jika kita “terangkat”, maka semua di sekitar kita, harus pula “terangkat” bersama kita.
Dalam perjalanan mempelajari ilmu ini, saya teringat satu peristiwa berkesan, tentang mengapa banyak pebisnis yang langgeng dalam kesusahannya. Tentang mengapa banyak pedagang yang tidak mengalami kemajuan yang berarti meskipun hingga puluhan tahun aktivitas ini sudah ditekuni.
Dua belas tahun lalu, saya gemar merenung tentang pedagang keliling yang lanjut usia. Saya berpikir tentang mereka yang masih mendorong gerobak “tahu tek-tek”, nasi goreng, soto, gado-gado, tahu campur dan sebagainya. Sering mereka berjalan dalam hujan hingga pagi dini hari mengelilingi kampung-kampung di pinggiran kota.
Terpikir oleh saya waktu itu, “betapa susahnya hidup bapak ini, kemana anak-anaknya, bagaimana kehidupan sehari-hari mereka, mengapa hingga usia segini dini hari masih memikul/mendorong gerobag…, semoga Tuhan memberi rizki senantiasa”
Waktu itu, tidak ada yang dapat saya lakukan kecuali sebatas ‘membeli’ dagangannya. Tidak ingin larut terlalu dalam saya menghibur diri. Bukankah setiap kita punya peran?
Itu kisah perenungan 12 tahun lalu. Entah mengapa tiba-tiba hari ini pun saya merenungi mereka, namun dalam konteks yang berbeda.
Saya ceirtakan satu diantara pengalaman “buruk”, ketika membeli tahu campur, pada suatu tengah malam ketika hari hujan. Saya memesan dua piring tahu campur “tanpa lemak/gajih”, untuk saya dan anak saya.
Mungkin karena tak memperhatikan, pak Tua tetap menyertakan beberapa potong lemak dalam piring hidangan tahu campur tersebut. Tidak ingin memprotes, kami sisihkanlah potongan-potongan lemak itu di pinggir piring. Usai makan, kami bayar dan mengembalikan piringnya pada pak Tua.
Kami mengira bahwa potongan-potongan lemak itu bakal dibuang di tempat sampah depan rumah kontrakan kami. Dari balik kaca jendela kami mengintip. Ternyata potongan-potongan lemak itu dikembalikan ke baskom kuah dan jelas akan bercampur dengan kuah bumbu yang belum terjual.
Saya tidak memponis bahwa ini merupakan kebiasaannya, namun saya jadi merenung hari ini. Tentang ketidakjujuran-ketidakjujuran yang kita tabung puluhan tahun, yang jika itu dibiarkan akan jadi menggunung. Gunung-gunung ketidakjujuran sesungguhnya hanya akan memperberat perjalanan hidup kita.
Apakah dikarenakan gemar menabung ketidakjujuran dibalik niat baik para pembeli inilah, sehingga hidup pak Tua seperti tidak beranjak dari “memikul beratnya dagangan” hingga berpuluh-puluh tahun lamanya? Entahlah, sebab saya bukanlah “Sang Hakim”, meskipun hingga hari ini, kejadian-kejadian serupa di depan mata ini menjadi bahan perenungan dan kekhawatiran tersendiri.
Sekali lagi, bukan bermaksud buruk. Ini hanyalah upaya perenungan dan penghubung-hubungan sebuah kejadian sebab-akibat saja. Sayapun tetap mendoakan agar mereka dimaafkan, disadarkan dan dimudahkan hidupnya oleh Allah SWT. Meskipun sejak itu saya tidak lagi berjumpa dengannya.
Saya tak kuasa membayangkan potongan lemak sisa saya makan, bakal disuguhkan kepada pembeli lainnya. Ini adalah contoh tindakan yang dilarang dalam implementasi konsepsi spiritual marketing. Namun saya khawatir, masih banyak dipraktikkan oleh pedagang.
Berikut ini beberapa hal ketidakjujuran yang pernah saya temui, yang dilakukan oleh “para pebisnis”. Antara lain, mencederai janji, memasukkan sisa makanan yang sudah basi dalam bumbu lalu menjual kembali kepada konsumen berikutnya, memasukkan kembali sisa es batu dari gelas konsumen sebelumnya, memasukkan sesuatu yang “mengancam kesehatan konsumen, baik jangka panjang maupun pendek (pengawet, pewarna tekstil, formalin, boraks dll), limbahnya mencemari lingkungan, tidak bersih dalam mencuci gelas piring, mengurangi timbangan setengah hingga satu ons, “kulakan” dengan harga serendah-rendahnya namun menjual dengan harga setinggi-tingginya demi mengambil keuntungan pribadi, tidak merasa bahwa itu “melukai” orang kecil sebagai produsennya, dll.
Itu semua adalah contoh riil tentang “menabung ketidakjujuran” dan “menabung akal-akalan bisnis”. Kebiasaan buruk yang ditabung setiap hari, setiap jam, setiap menit dan setiap detik-detik transaksi jual beli ini, pastilah menggunung setelah puluhan tahun lamanya. Tinggal menunggu saja berlakunya sebuah hukum yang dikenal dengan hukum tabur tuai, hukum sebab-akibat atau ada juga yang menyebutnya sebagai “karma”.
Tulisan ini khusus untuk pebisnis pemula saja dan “pemain lama” yang ingin "berbenah".
Terima kasih telah membaca dan selamat berbisnis!
Salam bahagia penuh karya!
Inspirasi: Spiritual Marketing (Joe Vitale)
Tulisan terkait:
http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/13/waspadai-padepokan-mak-lampir/
http://filsafat.kompasiana.com/2012/01/18/aku-punya-penasehat-spiritual/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H