Lihat ke Halaman Asli

Rempah, Keluhuran yang Dipermainkan Asing

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tulisan ini sederhana, meski agak dalam. Ini tentang tentang warisan tradisonal, yang lama tergilas modernitas. Tentang tetumbuhan dan rempah.

Suatu pagi ketika sedang membuat ramuan jamu temulawak dan kunyit asam, entah mengapa mendadak jadi ingat nenek moyang. Sambil menunggu ramuan masak, saya “mengenang” nenek moyang.

Dulu, Moyang bersikap sangat hormat terhadap alam. Alam dipercaya, sebagai anugerahNya, yang memunyai kekuatan “menghidupi dan menyembuhkan”. Moyang paham bagaimana memanfaatkan alam secara benar, secara wajar dan seperlunya. Jauh dari keinginan mengeksploitasi dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Alam disajikan untuk memenuhi kebutuhan, BUKAN keinginan (nafsu).Segalanya ditanam secara alami dan dipetik seperlunya, sebatas yang mereka perlukan.

Segala yang disediakan alam, diyakini ada kegunaannya. Moyang mengunyah daun jambu biji bila sakit perut, minum rebusan kunyit jika demam, meneguk madu bila letih, mengunyah jahe/kencur bila batuk, menyembuhkan luka dengan daun sirih, meminum air kelapa untuk menangkal racun, menanak beras secukupnya bila lapar dan memancing serta berburu secukupnya untuk lauk. Moyang menjauhi hal-hal yang melukai bumi. Tempat berpijak manusia, binatang dan tetumbuhan. Mereka hanya mengenal kotoran dan kencing hewan sebagai pupuk natural.

Lalu datanglah masa “ajaran sesat”. Asing datang mengacaukan semuanya. “Membujuk” kita agar meninggalkan ajaran tradisional tentang mencukupkan diri dengan kebutuhan. Tentang kewajaran-kewajaran yang menyehatkan tubuh dan jiwa. Tentang mensyukuri kecukupan dan MENEKAN keinginan.

Dengan dalih modernitas, asing mengiming-imingi kelimpahan yang dapat diperoleh dengan lebih cepat. Mereka mengajari cara-cara bagaimana menggiatkan keinginan dan menenggelamkan kebutuhan.

“Racun”dikenalkan sebagai“pupuk kimia dan pestisida”. Segala yang “dipupuk-kimia dan dipestisida”, akan menghasilkan kelimpahan. Lebih cepat panen, lebih banyak hasil, dan lebih “berkualitas”, katanya. Lalu, kita berbangga berguru pada mereka, belajar bagaimana “melukai” bumi dan tetumbuhan.

Kita suntik bumi dan dahan, agar dapat memanen buah berlimpah dan “berkualitas”, menggiurkan dan tanpa cacat. Padi dan buah-buahan yang semula cukup untuk memenuhi kebutuhan (seperlunya), kita racuni untuk menghasilkan kelimpahan dan kemakmuran yang tidak wajar.

Padahal, segala yang di bumi, Tuhan telah mencukupkan untuk keperluan kita. Dedaunan, biji, buah, bunga, dan akar tetumbuhan dapat menjadi obat penyembuh. Daun jambu biji, kumis kucing, alang-alang, kaca piring, pare, mentimun, tomat, bayam, daun sirsak, buah ciplukan, kunyit kuning, kunyit putih, asam, jahe, temu lawak, temu ireng, laos, kencur, kunci, kapulogo, merica, pala, jintan, tumbar, buah delima, kesemek, rukem, pisang, papaya dan lain-lain, telah lama dipercaya dan digunakan sebagai makanan sekaligus obat penjaga kesehatan oleh nenek moyang.

Namun kita belum mau percaya, hingga asing mengatakan “ya, itu benar!” Kita lebih percaya jika asing yang mengatakan.

Bayangkan! Mereka mengajarkan meracuni bumi dan tetumbuhan. Mereka juga mengajarkan kita membubuhkan pengawet dan pewarna pada makanan kemasan. Hingga tubuh kita beroleh ragam penyakit layaknya kanker, kolesterol, obesitas, asam urat, jantung, darah tinggi, diabetes, paru, dll.

Selama ini, Moyang dianggap bohong, hanya karena mereka tak punya Laboratorium. Sedang asing yang menjadikan kita sebagai tikus percobaan, dipuja-puja sebagai ilmuwan hebat.

Setelah kita diajari cara menyakiti bumi dan tubuh, sekarang mereka berbalik malah menggalakkan hidup sehat, berlabel green, green, green. Jika mau sehat, segalanya harus green dan segalanya harus organic.

Kita bagai dikocok/dikocak asing. Mereka tidak lebih hanya trial and error, memorak-porandakan saja apa yang apa yang sudah benar dan tertata.

Kini mereka menyerbu Indonesia menjual “suplemen herbal yang organic”. Produknya dihasilkan dari lahan organic dan bebas racun/kontaminasi. Dalam brosur dijelaskan, bagaimana mereka mengelola lahan berpuluh-puluh tahun, hingga itu menjadi lahan sehat yang menyehatkan.

Produk mereka, menguasai pasar obat-obatan organic kita. Harganya sangat mahal. Kita yang sudah sakit-sakitan, tidak punya pilihan lain selain membeli.

Ketika asing berkata bahwa kunyit putih, temu lawak, tomat, bayam, temu ireng dll, bisa digunakan sebagai penjaga kesehatan, baru kita percaya. Lalu kita cari tanaman tersebut di pasar.

Terlambat! Yang di pasar itu berpestisida, sedang yang bebas pestisida sudah dikemas dan dijual dalam bentuk kapsul. Mereka sudah menyiapkan lahan organic, kala kita sedang dikecohnya dengan pupuk kimia/pestisida.

Sekarang mari merenung. Bukankah kita hanya dipermainkan/dijadikan bulan-bulanan saja oleh mereka?

Tulisan ini hanya ungkapan tidak habis pikirnya saya, dengan kegemaran asing mengocak kita. Menakut-nakuti dengan higenitas dan laboratorium. Padahal dulu nenek moyang, rata-rata sehat dan panjang umur, tak ada diabet, kanker, obesitas, kolesterol, jerawat dll. Semua itu muncul sejak adanya ilmuwan yang terlalu pintar merusak tatanan yang ada.

Finally, semua kembali pada pembaca. Tidak ada paksaan untuk mengikuti saya. Biarlah saya back to Nature saja, untuk menjaga kesehatan, mengikuti warisan leluhur. Bagaimana?

Salam bahagia dan terus berkarya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline