Lihat ke Halaman Asli

Jika Tak Sanggup Menjadi Ibu atau Ayah...

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tiga minggu lalu, seorang perempuan muda mengaku telah membaca buku saya dan tertarik untuk bicara dengan saya melalui face book. Salah satu kalimat dia yang menarik hati saya adalah pesan yang dia tulis sebelum kami kemudian melanjutkan perbincangan secara on line. Pesan yang ditulis terkait dengan ketidaksanggupannya menjadi orang tua tunggal.

“…Ibu, saya harus membesarkan anak-anak saya sendirian. Suami saya telah memilih jalan hidupnya sendiri bersama perempuan lain. Bekerja sendiri sungguh melelahkan. Pulang kerja, saya seringkali terbawa emosi sehingga anak-anak saya sering menjadi korban kemarahan saya….saya sangat menyayangi anak-anak saya…..Rasanya saya tak sanggup harus menjadi ibu sekaligus ayah….Bisakah ibu menolong saya? Apa yang harus saya lakukan?”

Begitu banyak hal yang kami diskusikan sampai pada akhirnya, tibalah waktu untuk membahas kalimat dia,

“rasanya…saya tidak sanggup menjadi ibu sekaligus ayah”.

Saya katakan kepada perempuan cantik itu, bahwa tidak ada yang memaksanya agar ia menjadi ibu sekaligus ayah. Itu hanyalah istilah orang-orang yang harus dilepaskan, agar tidak terlalu menjadi beban. Ia tetaplah seorang ibu, bukan seorang ayah. Jika ia seorang ibu, maka yang perlu dilakukan hanyalah menjaga agar ia terus dapat menjadi ibu, menjadi wanita, menjadi perempuan. Bukan merubah dirinya menjadi ayah. Bukankah sebelumnya, ketika harus melahirkan anak-anaknya, ia telah menunjukkan dan ditunjukkan tentang kekuatannya, maka jangan kemudian mereduksi dan mengsuboptimalkan, apalagi meragukan kekuatannya. Soal kesendirian atau kebersamaan, sungguh telah tercatat jauh sebelum ia terlahir. Itu hanya sebagian saja perjalanan yang harus dilewati.  

Jika demikian, lalu siapa yang akan menjadi ayah? Ayahnya! Ayahnya adalah ayahnya. Jangan dipertanyakan kelanjutannya.

Jadi bagaimana saya harus melanjutkan hidup saya dan anak-anak?

Saya trinspirasi sebuah nasehat indah dari seorang perempuan penulis The Power of Femininity, Hammond,

“Seorang ibu, ia adalah wanita yang memiliki tujuan dan mengejar tujuan mulianya. Ia menjaga kehidupan anak-anaknya di bawah perlindungan sayap kuat bertepian kelembutan. Dadanya menentramkan dan memberi makan jiwa yang lapar. Lengannya melindungi anak-anaknya dari semua yang menakutkan. Tangannya lembut mengusap air mata kekecewaan. Lidahnya arif meneguhkan. Ia tegas dan berani. Ia juga kreatif dalam masa kekurangan…Ia tetap berdiri bahkan ketika ia tak lagi mampu berdiri…”

Jadi bagaimana soal keganjilan hidup tanpa ayah?

Saya katakan kepadanya, bahwa dengan atau tanpa ayah, hidup harus berlanjut. Tak perlu menjadi beban yang berlebihan. Berdirilah dengan teguh dan lihatlah bagaimana Tuhan mengisi celah-celah itu. DIA tahu bagaimana memperlengkapi keperluan seorang ibu. Dan DIA pasti telah mempunyai rencana lain untuk hidupnya.

Beberapa hari setelah perbincangan kami, ia mengirim pesan bahwa hidupnya jauh merasa lebih tenang. Tetapi tidak jauh dari hari itu, saya kemudian mendapat satu kabar baru yang cukup mengagetkan.

Seorang sahabat lama, laki-laki, bercerita tentang penderitaannya. Istrinya lari bersama lelaki lain dan ia harus mengasuh 3 orang anak hasil perkawinanannya. Inilah pesan yang ditulisnya pada sebuah pagi,

“…Ridha! Maaf, aku ingin cerita bahwa aku telah 10 tahun menyediakan kopi dan sarapanku sendiri setiap pagi, mengurus anak-anakku, bekerja untuk mereka sepanjang hari…., rasanya aku tak sanggup terus-terusan begini….menjadi ayah sekaligus ibu…., apakah kamu pikir aku mampu melanjutkan hidupku sampai nanti….? Entahlah…..doakan aku ya!”

Saya menghela nafas panjang membaca pesannya, bersyukur sekaligus prihatin atas setiap kejadian beberapa minggu terakhir. Tidak terasa air mata ini meleleh di pipi, ikut hanyut dalam kehidupan mereka yang merasa sedang dirundung masalah. Bukan mensyukuri kejadian yang mereka alami, tetapi mensyukuri perjalanan hidup saya yang selalu dibahagiakan. Bagaimana tidak dibahagiakan, bila setiap terjaga selalu saja ada yang berharap akan pertolongan dan meminta doa. Rasanya, hidup menjadi begitu indah bila diri ini berguna dan ada gunanya…

Saya tidak berfikir lama untuk membalas pesan si Fathir, sahabat lelaki yang sedang berduka itu. Saya hanya perlu meng_copas, apa yang telah saya tulis pada Esty (bukan nama sebenarnya), lalu kemudian saya kirim melalui email kepada Fathir. Sehingga advis itu berbunyi demikian:

Dear Fathir,

Tidak ada yang memaksa agar kamu menjadi ibu sekaligus ayah. Itu hanyalah istilah orang-orang yang harus kamu lepaskan, agar tidak terlalu menjadi beban. Kamu tetaplah seorang ayah, bukan seorang ibu. Jika kamu seorang ayah, maka yang perlu kamu lakukan hanyalah menjaga agar kamu terus dapat menjadi ayah yang baik bagi anak-anak. Bukan merubah dirimu menjadi ibu. Soal kesendirian atau kebersamaan, sungguh telah tercatat jauh sebelum kamu terlahir. Itu hanya sebagian saja perjalanan yang harus dilewati. Ketakutan hanya terjadi pada mereka yang jauh dari Tuhan. Bukankah kamu sudah berhasil melampaui sepuluh tahun itu dengan sangat baik?

“Seorang ayah, ia adalah lelaki yang memiliki tujuan dan mengejar tujuan mulianya. Ia menjaga kehidupan anak-anaknya di bawah perlindungan sayapnya nan kuat. Dadanya menentramkan dan memberi makan jiwa yang lapar. Lengannya melindungi anak-anaknya dari semua yang menakutkan. Tangannya tegar mengusap air mata kekecewaan. Lidahnya arif meneguhkan. Ia tegas dan berani. Ia juga kreatif dalam masa kekurangan…Ia tetap berdiri bahkan ketika ia tak lagi mampu berdiri…”

Berdirilah dengan teguh dan lihatlah bagaimana Tuhan mengisi celah-celah itu. DIA tahu bagaimana memperlengkapi keperluan seorang ayah yang harus membesarkan anak-anaknya…dan DIA pasti telah merencanakan sesuatu yang belum kamu ketahui…

Dua hari kemudian, ia berkirim pesan mengucapkan terima kasih atas pesan yang saya kirim. Itu sangat melegakan, katanya….

Salam bahagia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline