Lihat ke Halaman Asli

Muasal Kota, Muara Kota

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Awalnya tanah ini kosong, hanya ada sumber air, yang memancar tanpa henti. Para saudagar lalu membelokkan jalur dagangnya melewatinya. Berhenti sekedar untuk melepas dahaga. Perlahan menetap tinggal dan menguasai. Di tempat lain, awalnya ini hanyalah delta, dimana sungai mengalir jernih, menyibak lumpur, mengendapkan humus kesuburan. Berbondong-bondong binatang memamah rumput dan menyeruput segarnya air sungai. Kapal-kapal pun bersandar. Berhenti sekedar istirahat. Perlahan menetap tinggal dan menguasai. Di pelosok lainnya, dahulunya adalah belantara gelap tak bertuan. Pemilik abadi dari roh gentanyangan, sang Penjaga Wana. Saat cahaya matahari mampu menembus jiwa terdalam hutan, kala itu pulalah manusia masuk untuk menjamah. Awalnya berhenti untuk sekedar mengasingkan diri. Perlahan mulai menetap tinggal dan menguasainya. Tanah kosong itu awalnya adalah tak bertuan. Manusia mengisi dengan keinginan. Keinginan menguasai dan menguasai keinginan. Mengundang kerumunan untuk berebut, selanjutnya tanah itu menjadi bak Babilonia peradaban manusia dengan segala hasratnya1.

Victor Hugo berseloroh “sebuah kota berakhir menjadi persona”2. Peradaban kota adalah kerumunan dari hilangnya harapan para pengadu nasib. Memanggul untuk memenuhi satu harapan saja dari Yang Mulia. Dahulunya, mereka dari pinggiran, dipaksa meninggalkan tanahnya, lalu digiring berbondong ke pusat. Tentu saja ini bukan inisiatif mereka. Namun, untuk memenuhi keinginan cita-cita Sang Diraja. Sang Tiran mendengar bisikan untuk mendirikan penanda dirinya dalam sebuah masa yang disebut peradaban kota. Sang Penguasa menitahkan namanya dalam sebuah kerja paksa, demi kegemilangan tinta emas perjalanannya. Dan, keajaiban peradaban, yang membangun kota pun  berakhir menjelma jadi seseorang. Hanya sebuah nama.

“Paris tidak dibangun dalam satu malam” pesan leluhur, yang telah merenggang nyawa untuk sebuah nama kota. “Banyak jalan menuju Roma”, mengingatkan kepada generasi mendatang  tentang jejak-jejak pendiri kota, yang datang dari berbagai sudut dunia dalam todongan senjata. Orang-orang yang terikat, tidak bebas, budak-budak yang menyerahkan cita-citanya, dalam kuasa Sang Pemaksa. Tahun demi tahun. Mulai dari pondasi ke bangunan kaki. Abad demi abad. Dari bangunan kaki ke bangunan badan. Lalu mereka pergi. Entah kemana. Terdengar kabar dalam kitab bahwa Sang Mulia dihukum oleh Sang Tunggal. Dan, menyisakan bangunan kepala saja yang tak terselesaikan, untuk masa depan. Namun, mereka tak meninggalkan pesan  tentang bentuk atap impian mereka, yang menjadi akhir dari cita-cita penciptaan. Dari amanah tujuan pendirian sebuah peradaban. Sebuah kota tanpa cakrawala, tak ada pintu gerbang dan asal-muasalnya.3

Rene Decartes menyukai padang pasir. Tapi, Albert Camus meninggalkan padang pasir untuk mengembara ke kota-kota untuk menemukan kesendirian sebagai kekuatan4. Berani menyusun kepingan dirinya sendiri dalam keutuhan kota. Orang yang mendatangi kota adalah orang yang mencari dirinya. Menganggap kesempurnaan dapat terwujud di kota. Seperti para leluhur yang menyisakan atap kota, kesempurnaan tersisa yang kelak akan diburu oleh generasi setelahnya. Menyelesaikan bangunan yang tersisa dari sebuah penggapaian cita-cita para Urban. Bak atap kota nan tinggi, sebuah cita-cita juga berada di ketinggian. Kota meninggikan keinginan dan meluaskan harapan. Selayaknya jiwa-jiwa yang berpencar dari raga yang senantiasa bergerak menjemputnya –yang dipenuhi oleh keinginan. Harapan itu bak magnet yang menarik medan kutub kesendirian. Kesendirian berkat lepasnya jiwa yang tertinggal di tempat asal dan menetap di tempat tujuan.

Kesendirian adalah entitas kejujuran yang sebenarnya. Kota itu sendiri. Ibu itu selalu sendiri. Ditinggal anak dan suami. Ibukota itu wajah kesendirian. Ibukota menjelma dalam identitas dirinya sendiri. Mengajarkan untuk jujur. Sebagaimana orang kota berperilaku tanpa malu –meninggalkan diri dalam kesendirian. Landasan sikapnya adalah terbuka, salah satu komposan pembentuk sifat jujur. Keterbukaan menjadikan citra kejujuran tanpa etik. Kota mengurung penghuninya dalam individu-individu sendiri. Lebih mengeksploitasi keakuan, sebagai simbol pencitraan perhatian diri. Mencoba menjadi pribadi yang berbeda padahal bertetangga dengan pemilik jiwa-jiwa yang sama. Jika pembeda menjadi niat untuk membedakan. Maka, sebenarnya muaranya sama yakni sekumpulan orang-orang yang berbeda, sebagai penarik perhatian. Cermin dari pribadi yang memiliki daya tarik masuk dalam medan perhatian. Siapapun yang mudah tertarik, dialah pribadi yang sendiri.

Kota besar itu meninggalkan seseorang mati dalam kesendirian. Betapa banyak dia berkawan di sana. Betapa riuh dia bersosialasi dalam dua dunia sekaligus. Namun, kota ini tak pernah mengijinkan kawan-kawannya untuk menengok kematiannya. Dia mati sendiri di kota yang tegak berdiri. Dan, dia berakhir ditandu oleh orang-orang yang mungkin tak dikenalnya. Kota ini menghalangi kawan-kawannya untuk melepasnya. Orang yang tak dikenal inilah yang mengantarkan ke liang lahat. Mungkin semasa hidupnya, orang ini lupa bahwa dia memiliki orang-orang dekat. Orang yang mati ini menyukai orang yang jauh, sebagai tanda kesuksesan dalam meruntuhkan mitos bahwa jarak adalah penghalang. Orang yang berakhir sendiri ini, memang menyendiri dengan yang dimilikinya, yang didekatnya. Kota ini menjadi wajahnya, sedangkan jiwanya berpulang ke tanah asalnya5. Kota ini bergemerlap saja, tetapi tak memberi cahaya penuntun kepada orang-orang yang tinggal di dalamnya. Orang yang mati itu pulang dalam keadaan gelap. Kemeriahan hidup yang berakhir dengan kepiluan6.

Kota besar itu menyukai untuk membuat orang menunggu. Menunggu merupakan kunci dalam penggapaian harapan. Berbaris tak teratur untuk berebut masuk dalam lini masa peradaban yang dibangun oleh kota itu sendiri. Kota ini tak dibangun oleh satu nyawa. Jutaan jiwa terbenam di pondasi kota ini yang jauh di dalam sana. Sampai pada suatu hari, kota ini menunggu hari ini, dimana dunia telah mengakuinya. Pengunjung yang datang-pergi hilir-mudik mengabadikan kota dengan kisah yang tertinggal. Mengunggulkan sejarah para pendiri kota dan kepesatan kemajuan nan muktahir. Kota ini entah berlari sendiri, entah penghuninya yang terdiam sepi. Dijadikan cerita dari masa ke masa. Meninggalkan jejak tulisan untuk pengunjung setelahnya. Dan mereka telah membuat untuk menunggunya kembali. Tak ada hidup kesunyian selain di kota7.

Mereka berkerumun dalam kota.
Mereka berpencar di luar kota.
Mereka membentuk pola tak teratur.
Mereka bergerak dalam rencana.
Mereka diam dalam siasat.

Aku memandang kota besar adalah penghancur harapan. Memisahkan seseorang dari tanah lahirnya. Dan, kelak kembali dalam keadaan tak bernyawa untuk dikubur bersama muasalnya. Memisahkan seseorang bapak dari keluarganya. Demi kelangsungan hidup dengan nafkah in absentia. Memisahkan seorang anak dari orangtuannya, yang berjuang untuk meraih cita-cita. Entah cita-cita dirinya atau orangtuanya. Memisahkan seseorang dari dirinya sendiri. Sebelum sempat mengenal dirinya sendiri. Kota yang bersinar dari kejauhan itu, telah memisahkannya. Memisahkan dari semua yang telah dipersatukan. Dan, menyatukan semua dari apa yang telah dipisahkan. Itulah yang disebut harapan. Muasal dan kelak muara seorang manusia.

Saint-Cloud - 01/05/2015 - Re-edit

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline