Lihat ke Halaman Asli

Ariby Zahron

Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Puas atau Bahagia?

Diperbarui: 6 September 2022   17:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Manusia memang makhluk yang istimewa. Meskipun istimewa, baik buruk jahatnya selalu tumbuh dalam tubuh kita entah bergantung pada perkembangan intelektual, sosial dan emosional. Karena setiap manusia ingin membuktikan bahwa mereka mampu menghadapi berbagai persoalan kehidupan, maka dari itu tidak jarang kita bertemu dengan karakteristik manusia yang kurang berjiwa spiritual.

Lalu, apa keterkaitan tersebut? Kalau kita melihat perspektif manusia adalah kumpulan sifat yang mana di dalam jiwanya tertanam sifat konsumtif pada sesuatu seakan mereka adalah budak yang rakus akan terhadap banyak hal. Kemudian apakah kita harus mempermasalahkan sikap keegoisan tersebut?

Keegoisan manusia tidak melulu tentang keburukan, terkadang mereka yang beranggapan bahwa menjadi super person adalah suatu keharusan, titik pencapaian tertinggi yang harus diraih. Akan tetapi kita perlu menilai kebiasaan yang bagaimana dalam membentuk pribadi sebagai timbal balik dari keegoisan itu. Jadi yang perlu kita tekankan adalah tidak perlu melihat sesuatu di atas kita setelah kita menggenggam atau meraih sesuatu yang telah kita peroleh. Akan tetapi agama banyak mengajarkan kepada kita untuk selalu melihat ke arah bawah, yang artinya kita tetap bersyukur dengan keadaan apapun.

Seringkali juga melirik keberuntunggan hak orang lain di sekitar kita. Lalu berkata "Dia lebih baik dariku" tanpa mengetahui apa yang ada dibalik keberuntungan dan kenikmatan yang ia dapatkan. Padahal mungkin saja mereka beruntung dalam bidang tertentu, namun ia tidak beruntung dalam hal lain yang saat ini kita miliki. Jadi mulailah untuk berhenti menghitung keberuntungan orang lain.

Penyakit dari dalam hati juga mendorong manusia agar tetap merasa tidak puas. Iri dan dengki itulah yang menggerogoti hati manusia yang makin lemah imannya itu. Iri dan dengki melihat apa yang dimiliki orang lain ini harus dihilangkan agar kita bisa bersyukur dengan kehidupan kita sendiri. Seperti yang kita ketahui, kedua sifat ini akan membuat manusia tidak ingin kalah dari orang orang lain. Ia tidak akan merasa puas sebelum bisa mendapatkan apa yang dimiliki oleh orang lain.

Istilah "Di atas langit masih ada langit" dalam penafsirannya ialah meskipun kita banyak melakukan sesuatu yang bersifat ambisius, akan tetapi masih banyak juga orang di luar sana yang jauh lebih berharga daripada kita. Jadi kita manusia sebagai makhluk yang memiliki inteligen lebih dari yang lainnya harusnya dapat mengendalikan diri dengan cara berdamai dengan diri sendiri, karena permasalahan ini tidak akan ada habisnya kalau kita tidak memahami self awareness, yakni kemampuan untuk menyesuaikan diri sendiri dengan perasaan, pikiran, dan tindakan anda sendiri. Demikian adalah kemampuan untuk memahami diri sendiri secara jelas dan objektif melalui refleksi dan introspeksi.

Banyak sudah manusia yang demi memenuhi hasratnya untuk mendapat kepuasan dalam diri, ada orang yang rela mengambil jalan pintas dengan berbagai cara, termasuk merugikan dan menjatuhkan orang lain dengan cara yang tidak benar. Itulah simbol puas dan bahagia yang eksistensinya adalah kita sebagai manusia hendaknya selalu bersyukur atas limpahan rezeki yang telah diberikan oleh tuhan kepada kita dan tetap rendah hati dengan segala kelebihan yang kita miliki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline