Kau bertanya dengan setengah suara padaku. Kau berhasil? Aku menatapmu dan bertanya balik. Berhasil apa?
Kau tersenyum dan mwlanjutkan. Kau berhasil membuatnya cemburu? Aku terdiam dengar tanyamu. Dalam hal mana aku berusaha membuatnya cemburu. Pahamku, tak ada.
Aku hanya menggeleng dengan raut wajah penuh tanya padamu dan kau pahami ketidakmengertianku.
Katamu lagi. Saat kau diam tak menyapanya, saat kau anggap dia tak ada, saat kau tinggalkan dalam sepi, bukankah akan membuatnya cemburu?
Cemburu pada apa? Tanyaku lagi padamu. Tentu saja cemburu pada perhatianmu yang kini tak ada lagi dia miliki. Bukankah begitu?
Aku tersenyum mendengar penjelasan dari sudut pandangmu dan aku hanya menjawab singkat. Mungkin.
Pikirku lqgi, apa benar dia cemburu pada semua hal yang sudah kuhentikan? Tak ada lagi sapaku, tak pula sekedar senyumanku untuk dia yang memang sudah kusepikan dari hati. Untuk apa dia cemburu kalau memang tak pernah ada cinta di hatinya?
Mungkin ya hanya mungkin saja, bahkan dia tak merasa kalau aku sudah tak peduli. Jadi aku atau dia yang pantas disebut cemburu?
......
Written by Ari Budiyanti