Di atas bumi yang kupijak aku mengatakan suatu pengamatanku. Kataku pada bumi bahwa mentari sudah tenggelam dan menyisakan gelap malam. Bumi tak menjawab hanya diam menutup suara.
Aku kembali dalam remang malam sendiri menatap angkasa. Kulihat bulan sedang bersinar. Kataku pada bulan betapa gelap bumi kini kehilangan cahaya mentari yang pudar sudah terangnya hingga menghilang.
Pun tiada jawab oleh rembulan yang masih anggun menyinari bumi seolah menggantikan mentari dari sudut tempat ku berdiri.
Mengapa juga bumi dan bulan hanya diam. Aku menatap sekali lagi ke angkasa dan berseru pada bintang yang sedang berkerlip paling benderang di antara kawan-kawannya.
Namun belum selesai aku bicara, bintang itu sudah lebih dahulu berkata-kata padaku. "Kau mau membicarakan tentang bumi, bulan, dan matahari lagi?"
Aku terhenyak dalam renung yang tak kunjung berjeda. Bintang bahkan telah tahu apa yang akan kubilang. Apakah karena tak guna sebenarnya aku bicara? Tentang hal-hal yang sudah diketahui massa.
Kembali sang bintang mengatakan padaku, "Simpan energimu untuk berkarya esok hari. Jangan melelapkan diri dengan berbagai hal yang sudah banyak orang ketahui. Karena itu hanya sia-sia. Kau tak akan mendapat jawab dari mereka."
Sebenarnya, apakah mereka hanya menjaga perasaanku agar tak terluka. Mereka memilih diam untuk memberikanku ruang merenung sendiri? Namun aku tak paham sampai bintang bicara padaku.
Mungkin apa yang jelas bagi mereka nampak gelap di mata hatiku. Begitulah perbincangan malamku dengan semesta.
....