Siapa penulis perempuan berikutnya yang ingin saya ulas? Tentu saja Kompasianer Widz Stoops. Anda tentu pernah mendengar nama Beliau kan? saya menyapanya dengan sebutan Mbak Widz. Koq bisa kenal? dari mana coba? Tentu saja di Kompasiana. Saya ingin berkisah tentang pertemanan saya dengan Mbak Widz selama ini.
Have to saya honestly, Mbak Widz boleh dibilang sebagai perpanjangan tangan Tuhan untuk menolong agar tulisan-tulisan saya ikut dibukukan. Bagaimana caranya? yang saya lakukan adalah menulis, menulis, dan menulis. Itu saja. Dalam berbagai kesempatan, tulisan-tulisan saya ikut dibukukan dalam event yang diadakan oleh Mbak Widz di dalam Komunitas Penulis Berbalas/KPB.
Awalnya saya ragu, bagaimana ya saya menulis dengan tema tertentu yang sesuai event tersebut. Bu Anis Hidayatie yang juga kompasianer memberi saya dukungan dengan aneka saran/ide tulisan sehingga saya pun menulis dan mengikuti event tersebut. Hasilnya sebuah buku kolaborasi bersama teman-teman penulis lainnya.
Saya menuliskan sebuah cerpen yang berisi tentang perjalanan seorang nenek dan cucunya berkeliling di jalanan untuk sekedar mengumpulkan uang demi menyambung hidup. Ada sedikit resah ketika melihatnya setiap hari mereka berdua melintas di jalan depan kos saya tinggal. Anda bisa membacanya juga di Kompasiana.
Tak hanya berhenti di situ, kegiatan literasi saya terus berlanjut dan semakin banyak karya saya yang kemudian ikut dibukukan dalam beberapa buku dalam komunitas lainnya. Perkenalan saya di Kompasiana dengan Mbak Widz membuka jalan untuk saya juga bertemu di Komunitas Secangkir Kopi Bersama dan ikut menulis sebuah karya yang kemudian dibukukan.
Bahkan ada beberapa karya lain dari komunitas yang sama, saya bisa mengikuti event menulis bertema fotografi dengan Pak Tonny Syiariel sebagai juri. Saya berkesempatan melihat karya saya ikut dibukukan bersama penulis lain. Semua itu bisa terjadi karena perkenalan dengan Mbak Widz. Dalam banyak hal, Beliau memelopori penulisan buku bersama