Ada satu kendala terjadi dalam perjalanan menulis yang saya hadapi. Ini hampir membuat saya menghentikan kebiasaan berpuisi. Simak kisahnya.
Bulan Juli saya menulis banyak sekali puisi. Beberapa kali dalam 1 hari bisa menulis 5 puisi.
Apakah ini pencapaian yang wow buat saya? Bisa jadi. Tergantung dari sudut pandang mana saya menganggapi. Jika semangat literasi sebagai panduan saya, menulis 5 puisi itu wow.
Namun jika saya melihat status saya sebagai kompasianer centang hijau, kadang menulis banyak puisi membuat saya merasa lelah. Mengapa? Kelelahan muncul saat saya tidak melihat label biru sebagai pilihan editor dalam puisi saya. Sedih.
Saya terjebak dalam pandangan dengan menempatkan puisi menurut label pilihan dari admin. Puisi adalah karya seni dari hati. Adakah hati kita untuk dinilai berdasarkan label pilihan semata? Bagaimana menurut Anda?
Pantaskah semangat menulis di Kompasiana dipengaruhi oleh pemberian label pilihan editor semata? Tidak. Pilihlah jawaban ini jika Anda ingin terus aktif berkreativitas menulis puisi.
Jangan terjebak seperti saya, menganggap remeh puisi saya sendiri ketika tidak dilabel oleh admin. Ada tanya dalam hati saya, mengapa puisi saya seolah tidak mendapat pengakuan admin kalau layak diberi label pilihan?
Ada berbagai alasan pembenaran. Namun apapun itu, belajarlah untuk "just let it go".
Dulu saya selalu semangat menumpuki tulisan puisi saya yang tidak dilabel dengan puisi baru. Terus menulis dan terus berkarya mengikuti hati. Ini tidak hanya berlaku untuk puisi. Artikel pun demikian.
Kebiasaan saya ini membuahkan hasil. Jumlah karya tulisan saya di Kompasiana lebih dari 1.700 hanya dalam kurun waktu 2 tahun 8 bulan. Meski jujur saat ini saya sedang kehilangan "mood" untuk berpuisi sendiri.
Saya mengakui bukan termasuk orang yang mengalami kesulitan khusus dalam berpuisi. Saya sering bingung merespon rekan yang mengeluh pada saya bagaimana memotivasi diri menulis puisi. Namun saya berikan juga tips sederhana ala saya ketika kehilangan hasrat berpuisi.