Lihat ke Halaman Asli

Ari Budiyanti

TERVERIFIKASI

Lehrerin

Kakakku, Sahabat Sejatiku (Sebuah Kisah Literasi)

Diperbarui: 15 September 2020   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Slideshare.net/rumahbianglala

 Beberapa waktu yang lalu telah berlangsung pengumuman kelulusan dari Sekolah Menengah Umum (SMU) baik swasta maupun negri. Aku bersyukur karena dinyatakan lulus. Sekarang aku sedang bingung untuk menentukan jurusan apa yang akan kuambil di Universitas nanti.  


"Sebenarnya apa minatmu, Via?", mama bertanya kepadaku, di suatu malam saat semua anggota keluargaku berkumpul. Aku punya seorang kakak laki-laki dan seorang kakak perempuan. Mereka berdua sangat sukses. Kakakku yang pertama, mas Iwan, dia sudah menjadi seorang dokter spesialis bedah saraf yang cukup ternama.


Sedangkan kakakku yang kedua, mbak Irna, baru lulus dari kuliah akuntansi dan sekarang bekerja di perusahaan papa sebagai kepala atau manajer keuangan karena mbak Irna memang sangat cerdas.


Sekarang giliranku untuk menentukan pilihan hendak menjadi apa untuk ke depan nanti. Rasanya begitu berat dan tertekan karena semua menuntutku menjadi baik dan sukses seperti kedua kakakku itu yang selalu menjadi kebanggaan papa dan mama.


"Via sayang, kamu belum menjawab pertanyaan mama?" tiba-tiba aku tersentak mendengar suara papa yang meskipun lembut mampu membuyarkan lamunanku. "Nah, kan, Via melamun lagi," sambung mbak Irna, "kenapa sih kamu tidak bisa membuang kebiasaan burukmu itu Via?" lanjut mbak Irna menambahkan.


Mas Iwan masih diam, tidak ambil bagian dalam pembicaraan ini, memang kakakku yang satu ini pendiam dan sangat pengertian, jadi kakak idamanku.


"Novia bangun! Jangan melamun terus!" mbak Irna berseru sambil mencubit tanganku. " Aaaw sakit, mbak!" teriakku keras, akhirnya aku merespon juga, ternyata aku sudah terlalu lama melamun. " Iya, iya, aku kan sedang berpikir untuk menjawab pertanyaan mama." Sahutku berdalih sekenanya.


"Ya udah berpikirnya cukup kan, sekarang apa dong jawabnya, minat kamu atau cita-cita kamu sebenarnya menjadi apa, adik kecilku?" mas Iwan ternyata menyimak pembicaraan kami, meskipun dari tadi terlihat begitu serius membaca buku kedokterannya. Mas Iwan selalu tahu menempatkan posisinya sebagai kakak dengan tepat.


"Sebenarnya aku ingin menjadi seorang penulis, penulis cerpen, puisi atau novel, kalau bisa aku ingin menulis buku apa saja yang dapat membangun pola pikir setiap pembacanya." Aku menjawab dengan mantap dan penuh percaya diri.


Sejenak semua terdiam mendengar jawabanku yang pasti di luar dugaan mereka, karena selama ini aku selalu diarahkan untuk menjadi dokter seperti mas Iwan atau akuntan seperti mbak Irna, juga pengacara terkenal seperti mama dan papa yang menjadi direktur perusahaan tekstil yang besar dan maju di kota kami. Sementara aku ingin jadi penulis, di luar harapan mereka semua.


"Astaga Via, kamu serius dengan jawabanmu?!! Penulis?!" sahut mbak Irna sambil melompat dari kursinya, menurutku itu reaksi yang berlebihan, sangat berlebihan. Mama juga menatapku dengan sangat heran. "Aduh Via, mama sungguh tak percaya, papa bagaimana ini, Novia ingin jadi penulis, bagaimana dengan masa depanmu nanti, Via?".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline