Saya sungguh masih terus terkesan dengan kenangan masa kecil saya. Ketika lebaran tiba, Almarhum Bapak saya selalu akan mengajak kami sekeluarga mengunjungi rumah kakek dan nenek baik dari pihak bapak maupun ibu saya. Kami keluarga Jawa, baik dari keluarga Bapak maupun Ibu. Sejak kecil kami selalu dibiasakan untuk berbicara Bahasa Jawa Krama Inggil terutama saat bicara dengan orang yang berusia sudah sepuh (tua).
Ini membuat saya sering berdebar-debar, menata hati dan berlatih sebelum bertemu kakek nenek. Saya akan minta diajarin oleh kakak-kakak saya. Bagaimana bicara yang sopan saat bersilaturahmi, bermaaf-maafan, terutama pada kakek, nenek, bapak dan ibu. Kakak-kakak saya selalu mau membantu saya.
Kira-kira begini kalimat yang saya ingat saat masih kecil : "Mbah, kulo tiyang enem nyuwun pangapunten sedoyo lepat kulo." Artinya kira-kira begini: "Kakek, saya anak muda minta maaf atas segala kesalahan saya." Nanti akan dijawab begini oleh Kakek, "Iya, padha-padha, mbah wong tuwa akeh lupute, diapura ya." Yang artinya "Iya, sama-sama, kakek orang yang sudah tua banyak kesalahan, dimaafkan juga ya."
Iya, bagi kita yang baca sekarang mungkin sederhana. Tapi waktu kecil, itu cukup membuat batin jantung saya berdebar-debar. Saya takut salah ucap. Sekarang semua itu telah menjadi kenangan indah. Sampai sekarang pun saat saya bersilaturahmi dengan kerabat yang lebih tua usianya dari saya, masih juga menggunakan Bahasa Jawa Krama Inggil. Namun ini sudah menjadi kebiasaan yang tidak membuat saya seberdebar-debar jaman masih kecil.
Perjalanan dari rumah kami ke rumah kakek dan nenek, orang tua Bapak, juga cukup panjang. Jika berjalan kaki santai ada 15 menit. Tapi karena hari Idul Fitri, saat kami berjalan di kampung dan bertemu dengan banyak orang, pasti akan berhenti dan bersalam-salaman di jalan. Saling bermaaf-maafan meski secara singkat. Kalau melewati rumah guru SD, saya akan mampir untuk minta maaf juga pada pak guru yang rumahnya di belakang sekolah.
Di rumah kakek dan nenek, biasanya saya mendapat uang saku. Bahasa yang dikenal di kampung saya, kalau anak kecil harus 'disangoni" atau dikasi uang. Wah ini menjadi momen-momen menarik dan dinanti waktu saya kecil karena mendadak saya jadi punya banyak uang pada saat Lebaran.
Dhuh, masa-masa itu kadang ingin saya ulang. Mencicipi aneka jajanan kampung yang disuguhkan saat berkunjung juga menjadi momen indah. Mulai dari tape ketan, kadang ada tape singkong, sagon, rengginang, kacang bawang, untir-untir, tapak dara, bolu ketapang, dan aneka kue lainnya. Jadi acara bermaaf-maafan di waktu kecil sangat berkesan, sekalian makan aneka jajanan dan mengumpulkan uang saku.
Setelah mengunjungi kakek nenek, orang tua bapak dan ibu saya, kami juga mengunjungi keluarga tante dan om saya yang tinggal bersama adik nenek. Lalu saya dan kakak-kakak bermaaf-maafan dengan keluarga om dan tante.
Biasanya pada sore hari bergantian, keluarga om dan tante akan berkunjung ke rumah bapak dan ibu saya untuk "sungkem", saling bermaaf-maafan. Jadi kami memang akan saling mengunjungi, orang-orang yang muda akan mengunjungi orang-orang yang lebih tua. Begitulah tradisi yang saya kenal sejak kecil dan selalu terkenang, sangat berkesan.
Ada kesedihan tersendiri saat ini, di tengah pandemi Covid-19, kami tidak bisa mengunjungi sanak-saudara dan keluarga besar. Tak bisa juga mengadakan acara reuni dengan teman SMP saat lebaran sekalian bermaaf-maafan. Semua dilakukan hanya bisa secara online. Memang terasa ada yang kurang pastinya. Tapi tetap saja ini harus bisa kita lakukan dengan ikhlas. Hanya dengan cara ini, kita bisa membantu bangsa ini, Indonesia tercinta, untuk mengurangi semakin merebaknya wabah corona.
Mari kita bersama belajar rela untuk sementara tidak melakukan tradisi bermaaf-maafan dengan saling mengunjungi ke rumah-rumah sanak saudara dan teman seperti biasanya.