Masih setia mendung menggelayut saat petang tiba
Entah sejak kapan hadirnya tak teramati olehku
Ketika tertutupi segala duka dalam pekat dan gelapnya malam
Terlebih beriring rintik hujan yang bagaikan tirai sutra tembus pandang
Kerlip lampu kota saat malam
Beradu terang dengan lampu di laju kendaraan
Namun demikian tak bisa menerangi hati yang terlanjur berduka
Dalam sebuah perpisahan yang tak kasat mata
Mungkin sua itu belum terjadi dan selamanya tiada
Ketika perpisahan raga menjadi sebuah pertanda jiwa
Bahkan riuhnya kenangan telah terlanjur berbaur dengan derasnya aliran air
Yang menggenang terus saat bersamaan hujan
Kapankah bencana ini berlalu dari bumi tercintaku
Yang dicurahi berkat dua musim selalu
Perimbangan kemarau dan penghujan yang seolah melebur dalam kerontang dan banjir
Sungguh ku tak mengerti bahasa alam sepenuhnya
Aku sudah lelah berduka
Pun berderai air mata untuk mereka yang tertimpa bencana
Sungguh duka hadir lagi setelah awal tahun lalu berlalu
Hanya dalam selang hitungan puluhan hari
Berhentilah saling memaki dan mencela
Sudahilah segala amarah emosi jiwa karena berbagai kecewa
Bahu membahu saja berusaha menolong mereka
Yang masih terus berduka di kubangan coklatnya air karena banjir melanda
Dukaku untuk semua yang tertimpa banjir di penjuru kota dan desa
Sedihku membuat air mata menjadi kabut di pelupuk mata
Doaku kupanjatkan pada Sang Khalik
Kiranya diberhentikan segala hujan lebat di angkasa
Kiranya disurutkan banjir yang mengepung warga
Amin
....
Written by Ari Budiyanti
26 Februari 2020
#PuisiHatiAriBudiyanti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H