Lihat ke Halaman Asli

Ari Budiyanti

TERVERIFIKASI

Lehrerin

Mulai dari Menunggu, Mengejar, dan Ditinggal Kereta Api Pernahkah Anda Alami?

Diperbarui: 11 Februari 2020   13:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya dan Ibu menunggu kereta api di stasiun Gubeng Surabaya. Dokumen pribadi

Kisah saya dan kereta api bagian  kedua akan dimulai. Saya baru menyadari betapa kisah-kisah yang saya alami bersama kereta api bisa menjadi tulisan. Ini berkat ide yang saya dapat dari Kompasianer Pak Ikrom Zain dalam eventnya memperingati tahun ketujuh berkompasiana. 

Keren ya bisa bertahan sampai 7 tahun. Saya saja baru mau masuk awal tahun ke dua menulis di Kompasiana. Semoga nantinya saya juga bisa konsisten terus menulis, jika diberi umur panjang. 

Dalam kisah pertama saya bersama kereta api, saya meceritakan mengenai uluran tangan yang menjadi simbol kebaikan sederhana yang saya lakukan. Anda bisa baca pada link: uluran-tangan-kecil-di-gerbong-kereta-malam-itu.

Kenangan lain yang tak terlupakan adalah tentang penantian datangnya kereta api. Masa-masa kuliah saya terlampau dengan kenangan ini. Transportasi paling terjangkau dan memungkinkan saat itu untuk saya adalah kereta api ekonomi. 

Karena saya tidak lagi berani naik kereta api Pasundan, maka saya memilih alternatif lain. Jika kereta api Pasundan bisa sekali jalan sampai Surabaya meski malam, maka saya memilih kereta api dengan dua kali jalan atau transit. 

Pertama saya akan naik kereta api Kahuripan dari kampung saya dan berhenti di stasiun Lempuyangan. Dari stasiun Lempuyangan saya akan menunggu kereta api Sri Tanjung dan berhenti di stasiun Surabaya Gubeng pada sore hari sekitar pukul 3 sore. Ini lebih masuk akal buat saya. Meski ada waktu transit di Lempuyangan beberapa jam, tapi terasa lebih aman. 

Masalahnya, kereta api ekonomi pada jaman dulu sekitar tahun 2000, kedatangannya tidak bisa diprediksi. Apakah saya asal bicara? Tidak. Saya mengalaminya bertahun-tahun. Misalnya di jadwal kedatangan pukul 00.00 WIB. Maka bisa tiba di stasiun tempat saya menunggu pukul 02.00 WIB. 

Saya harus menunggu 2 jam di stasiun. Untungnya rumah saya dekat dari stasiun. Dan ada Bapak atau Ibu yang bergantian menemani saya menunggu kereta api datang. Beliau berdua sungguh setia, sabar dan bersedia menemani anak permpuannya menunggu kereta tengah malam. Ini pengalaman menanti atau menunggu kereta api hingga 2 jam saya pernah alami.

Di kesempatan lain, saya pernah bersama kakak saya dari arah stasiun Gubeng, kami hendak naik kereta api bisnis menuju rumah kampung halaman karena ada berita duka yang membuat kami mendadak harus pulamb. Tapi karena kesibukan di kantor kakak saya, kami sampai di stasiun kereta api Gubeng sangat mepet dari jam keberangkatan kereta. 

Karena itu kami berlarian mengejar kereta api yang akan kami tumpangi itu. Malang nasib kami, kereta sudah berjalan lambat dan petugas PJKA melarang kami yang memaksa naik. Demi keselamatan kami. Meskipun kakak saya mungkin bisa saja memaksa naik kereta api yang berjalan lambat karena dia laki-laki. Tapi mengingat keberadaan saya, niatnya urung. 

Kereta api bisnis maupun ekonomi kalau berangkat dari stasiun Gubeng sebagai start memang akan berangkat tepat waktu. Tapi kalau di stasiun lain bisa terlambat datang. Khsusnya kereta api ekonomi. Saya mengalaminya berulang kali. Jadi pengalaman mengejar kereta api pun pernah terjadi di satu masa kehidupan saya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline