Lihat ke Halaman Asli

Ari Budiyanti

TERVERIFIKASI

Lehrerin

Cerpen | Cinta di Antara Dua Benua

Diperbarui: 17 Desember 2021   15:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pantai Pangandaran. Photo by Ari

Senja masih sama. Selalu bergulir datang saat mentari hendak beristirahat. Teriknya siang yang tak lagi sama. Di kala hidup di negara tropis, sudah terbiasa terpancar sinar terik matahari. Bahkan kadang sudah memkai sunblock banyak pun masih terasa efek panasnya di kulit. 

Tania berusaha menyesuaikan diri di negara baru tempat ia tinggal. Negara empat musim. Ini pertama kalinya. Apakah aku kuat menahan dinginnya. Kata Tania dalam hati. Musim dingin bisa mencapai suhu minus derajat Celcius. Dinginnya bukan hanya sampai ke sumsum tulang. Menggigil di awal-awal tinggal. 

Namun dengan pengetahuan mama yang cukup luas, mama Tania memperlengkapi dengan pakaian hangat yang tepat. Ini membuat Tania bisa bertahan di suhu rendah saat musim dingin. 

Meski demikian, Tania masih huga berpuisi tentang senja yang lainnya. Kisah senja kini berbeda. Kisah senja di negara empat musim. Meski tak sebanyak yang bisa ditulisnya saat masih di negaranya. Mungkin hanya belum terbiasa. Pikir Tania.

Rian masih setia mengikuti puisi-puisi senja karya Tania. Yang dirasanya semakin dingin saja isinya. Seolah senada dengan dinginnya kota tempat Tania tinggal saat musim dingin kini. Sungguh ada banyak tanya pada hati Rian mengenai kepergian Tania dan keluarganya ke negri nan jauh. Ada apa.gerangan.

Astri pun mengaku tidak tahu menahu. Tania anaknya tertutup. Hanya itu saja petunjuk dari Astri. Rian pasrah. Apakah ini kisah cinta yang sepihak saja. Haruskah dia mengalihkan rasa pada yang lainnya. Ah Tania, betapa aku rindu. Bisik Rian dalam hati.

Kehidupan Tania dan keluarganya membaik. Mereka masih belum bisa pulang ke kampung halaman. Rindu akan suasana negri tercinta sungguh tak tertahankan. Pun rasa inginnya bersua Rian yang tak pernah dipamitinya saat pergi. 

Tania pun memberanikan diri bicara pada mamanya di suatu senja. Inginnya pulang ke negri tercinta. 

"Tania, kita bahkan sudah tidak punya rumah lagi di sana. Sudah dijual oleh papamu tanpa sepengetahuan mama. Masih untung Tuhan berbelas kasihan. Di sini kita bisa mendapatkan tempat tinggal. Meski kita bertiga harus bekerja keras untuk hidup. " 

Tania mendesah sesak terasa baginya. Kenangan pilu bertubi-tubi di kala senja, membuatnya jadi sering tak bisa berkata-kata. Semua lantunan dukanya hanya tersalurkan lewat rangkaian aksara. Iya puisi-puisinya. Tania berusaha menciptakan kenangan manis saat senja di kota Frankurt ini. Namun ternyata selimut lara masa lalunya lebih tebal dari yang dikira. 

Perpisahan papa dan mamanya yang tak terduga, bagaimana bisa seorang ayah menelantarkan keluarganya. Tania ingin marah namun tak kuasa melampiaskan amarah pada papa yang sangat dicintainya. Mengapa papa harus terjerat hutang yang banyak. Sampai-sampai rumah satu-satunya harus dijual. Mama sangat terpukul dan tak mau lagi tinggal bersama papa. Setelah mengurus perceraian dengan papanya, mama memilih pindah ke luar negri. Dan kami kedua anaknya harus ikut. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline