Lihat ke Halaman Asli

Ari Budiyanti

TERVERIFIKASI

Lehrerin

Saat Pemusik Itu Memberiku Seikat Bunga

Diperbarui: 6 Oktober 2021   13:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Ari

"Sekar" panggil pak Ardi saat melihatku duduk menikmati makan siang sendirian di kantin. "Pak Ardi? Anda sendirian?" Jawabku dengan tanya yang lain. Rasanya itu selalu spontan kulakukan pada siapa saja. Aku suka bertanya balik pada orang yang memberiku tanya.

"Memang kamu berharap aku datang sama siapa? Pak Rianmu itu?" Pak Ardi ini memang terkenal "to the point" tidak suka basa-basi. Kalau tahu sesuatu selalu diucapkankan tanpa ragu. Kalau menebak juga jarang salah. Jawaban sering tepat sesuai perkiraan penanya.

"Saya kira begitu biasanya. Anda selalu bersama beliau." Jawabku menutupi salah tingkah karena yang dia katakan benar. Aku mengharapkan ada sosok Rian datang bersamanya. 

"Dengar baik-baik Sekar, aku sudah mengamati kalian berdua beberapa waktu ini. Sepertinya kalian cocok satu sama lain. Apakah kanu mau terima saranku untuk bisa mendapatkan hati Rian lebih cepat?"

Aku hanya menatap Pak Ardi bengong dengan ekspresi tak menentu. Mau-mau tapi malu. Ini orang tebakannya benar lagi. Daya observasinya kuat rupanya. Dan hanya kuberi anggukan kepala tanda setuju. Kulihat sekilas senyuman di wajah pak Ardi. 

"Pertama, kamu harus berani menunjukkan perasaanmupadanya. Gunakan cara yang "smart". Tidak terlalu kentara tapi menyentuh tepat di hatinya. Paham?" Kugelengkan kepala  kali ini bahasanya sederhana dan lugas seperti biasa, tapi tak bisa kupahami maksud di balik kata-kata itu. 

"Ah, kamu ini. Kreatif sedikit. Amati dan perhatikan Rian. Berikan apa yang kira-kira paling dia butuhkan saat bekerja dengannya. Pelajari dia. Karakternya seperti apa dan hal-hal apa yang tidak disukainya harus sebisa mungkin kau jauhkan." Papar pak Ardi.

"Apakah Pak Ardi mau memberi saya sedikit petunjuk?" Berusaha kudapati sedikit "clue" tentang pak Rian dari sohib terdekatnya. "Dia suka sop ayam kampung. Sudah itu saja yang akan kuberitahukan. Lainnya, pikir sendiri. Semangat berjuang dan tidak boleh putus asa ya. " Selesai memberi petuah kecil padaku, pak Ardi langsung pergi.

"Terimakasih pak Ardi" aku berseru seiring langkahnya meninggalkanku ke meja lainnya. Tapi, kenapa hanya bilang sop ayam kampung. Kenapa pak Ardi ini tak bilang saja apa hobi pak Rian atau mungkin karakternya. Kan lebih membantuku daripada sekedar bilang sop ayam kampung. 

Ada sedikit gerutu kesal. Kulirik jam tanganku. 20 menit lagi jam istirahat makan siang berakhir. Kumakan buah jeruk terakhirku. Sambil mengelilingi kantin dengan kedua mataku. Tak kudapati pak Rian yang kuharap bisa kulihat di salah satu sudutnya. 

Lalu melihat diujung kantin ada tulisan besar nasi sop ayam kampung. Entah mengapa aku langsung teringat nasihat pak Ardi. Segera aku menuju ke penjual sop ayam kampung dan membeli 1 box untuk pak Rian, tentu saja beserta nasinya. Sepertinya pak Rian belum kelihatan makan siang. Aku bawakan saja ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline