Cemas ingin berkunjung ke pelukis luka, membawa sedikit subuh dan koper berisikan jajanan menengah kebawa pinggiran kota.
Ingin di ajaknya luka berkeliling melihat aspal dipenuhi darah, waduk berisikan amarah, balapan burung yang tak berguna, puluhan ikan-ikan yang dipenjara lalu kemudian menyusuri pantai, duduk di ujung bebatuan tepat selangkah depan matahari yang hendak terbenam.
Membuka bicara kepada luka tentang nurani, tentang jiwa dan kepuasaan apa yang di temukannya, tentu dengan gesekan gigi dan air mata.
Lalu mengantarnya pulang, di jalur penuh tanjakan dan berlubang yang dipilihnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H